Surakarta (30/7). PC LDII Jebres menggelar Sosialisasi Anti-Bullying di Pondok Pesantren Rhodhotul Janah, Surakarta, Jawa Tengah pada Rabu (24/7/2025). Kegiatan ini menjadi respons terhadap kekerasan di lingkungan pendidikan yang kian mengkhawatirkan, khususnya di kalangan pelajar.
Ketua PC LDII Jebres, Lukman Sukamto, menjelaskan sosialisasi ini merupakan bagian dari program kerja rutin yang menyasar generasi muda LDII. “Acara ini bentuk tanggung jawab kami sebagai lembaga dakwah dalam menyikapi fenomena sosial di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan anak dan remaja,” kata Lukman.
Ia menambahkan LDII Jebres secara konsisten mengadakan tiga hingga enam majelis ilmu setiap pekan untuk kalangan pemuda. Namun, ia menegaskan bahwa peran keluarga tetap krusial dalam membentuk karakter anak. “Kami sadar, sekolah pertama anak adalah keluarga. Karena itu, ke depan kami akan mengadakan program serupa tiap bulan, dengan materi yang menyesuaikan isu aktual,” ujarnya.
Ketua Pondok Pesantren Rhodhotul Janah, Eko Prasetyo menekankan bullying bukan konflik biasa, melainkan bentuk kekerasan yang terstruktur, disengaja, dan berulang. “Ini darurat kekerasan di dunia pendidikan. Kalau tidak ditangani serius, pelaku bisa berkembang menjadi pelaku kekerasan lebih besar, sementara korban bisa alami trauma berkepanjangan,” ujar Eko.
Ia juga menjelaskan perbedaan antara konflik dan bullying. Konflik biasanya spontan dan terjadi antara dua pihak dengan kekuatan seimbang. Sementara bullying dilakukan oleh pihak yang lebih dominan terhadap yang lebih lemah, sering disertai manipulasi dan terjadi berulang.
Eko mengungkap dampak serius dari bullying yang bisa menghantui pelaku, korban, bahkan pengamat. Dari sisi psikologis, sosial, hingga ekonomi, dampaknya bisa membekas seumur hidup.
“Data Asesmen Nasional Kemendikbudristek 2022 menunjukkan 36,31 persen peserta didik berpotensi mengalami perundungan, 26,9 persen pernah mendapat hukuman fisik, dan 34,51 persen berisiko menjadi korban kekerasan seksual. Di sisi lain, KPAI mencatat lebih dari 2.100 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun yang sama,” jelasnya.
Menurut Eko, penyebab utama bullying antara lain berasal dari disharmoni keluarga, kurangnya perhatian orang tua, pengaruh teman sebaya dan media sosial, serta lemahnya pengawasan di sekolah. Ia mengajak seluruh pihak untuk aktif terlibat menangani kasus perundungan. Beberapa strategi penanganan yang ia sampaikan antara lain, menunjukkan empati kepada korban, mengumpulkan informasi tanpa menyalahkan, mendokumentasikan kejadian, serta memberi pendampingan atau rujukan profesional.
“Anak-anak perlu merasa aman, dihargai, dan didengar. Kita semua, dari keluarga hingga masyarakat, harus menciptakan lingkungan yang positif,” tegasnya.
Menutup sesi sosialisasi, Eko mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjadi pembela saat melihat kekerasan, bukan sekadar penonton. “Jangan hanya melihat. Kita harus berani bertindak, menjadi bagian dari solusi,” katanya. (RS/FWI)