Oleh Sudarsono
Beternak lele memang menguntungkan, tapi risiko susulannya yang mengganggu tetangga. Aroma amis kolam dan bau amis dagingnya memicu Aminto berpikir keras mencari solusi.
Salah satu masalah ikutan dalam budidaya lele secara intensif adalah bau amis dari kolam ikan lele. Kondisi itu memang mengganggu lingkungan, bisa memicu tetangga protes karena terganggu. Ditambah lagi, ikan lele yang dipanen pun juga berbau amis. Walhasil meskipun sudah diolah dengan bumbu lengkap antiamis pun, tetap saja beraroma amis.
Tapi ada juga panenan lele tanpa amis, juga kolam renangnya. Inovasi itu lahir dari Aminto, warga LDII dari Dusun Gelaran II, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia mampu membudidayakan lele bebas aroma amis. Padahal, skala peliharaannya lumayan besar: delapan kolam seluas total 150 meter persegi lebih dan satu kolam terpal diameter 6 meter persegi, plus enam kolam beton satu meteran persegi di sekeliling rumahnya. Dan yang terpenting, hasil panen lelenya juga tak beraroma amis.
Aminto memelihara lebih dari 15.000 ikan lele di rumahnya. Saat tim DPP LDII berkunjung ke lokasi peternakan lelenya, pada 17 Agustus 2025, tidak satupun dari rombongan yang mencium bau amis — yang biasanya tercium ketika ada di dekat kolam ikan lele.
Sekilas penampakan kolam-kolam lele milik Aminto, layaknya kolam lele lain: keruh layaknya air comberan. Hanya saja ini tanpa bau amis. Rasa penasaran betul-betul menggelitik perasaan kami, saat melihat kenyataan yang tidak biasa ini. Jawaban Aminto membuat rasa penasaran semakin membuncah, karena ketika ditanya kenapa kolam lelenya tidak berbau amis? Jawabnya: “Nanti akan saya kasih tahu dan jelaskan rahasianya, setelah tim DPP LDII mencicipi ikan lele saat makan malam. Akan saya sajikan ikan lele hasil budidaya dari kolam ini dan saya sajikan juga lele lokal. Nanti silakan dicoba dan setelah itu akan saya jelaskan resepnya,” ujar Aminto.
“Wah, selain penasaran yang membuncah sebetulnya hati kami yang berkunjung ke lokasi kolam ikan lele saat itu merasa sangat berat, sangat berat untuk menolak kesempatan mencicipi ikan lele tanpa amis maksudnya.”
Saat makan malam jam 19.00 tiba, sudah tidak sabar lagi lima anggota tim DPP LDII bersama dua orang dari DPW LDII DIY, ingin mencicipi lele tanpa amis produksi Aminto dan membandingkannya dengan lele lokal. Ternyata betul terbukti juga bahwa ikan lelenya pun tidak berbau amis, tidak seperti ikan lele lokal yang disajikan bersamaan sebagai pembanding.
Rasa penasaran kembali menggelitik perasaan dan pertanyaan yang sama kami ajukan. Rupanya Aminto masih ingin menambah besar rasa penasaran kami, dengan jawaban menggunakan bahasa Jawa, yang artinya kira-kira begini: “Silakan, dinikmati dulu ikan lelenya dan jangan malu-malu untuk nambah lagi.”
Dalam hati kembali kami bergumam, tawaran yang sungguh berat bagi kami, sekali lagi berat untuk menolaknya. Akhirnya setelah menambah nasi hangat dan dua ekor ikan lele goreng tanpa amis. Namun tuntutan untuk mengetahui resep budidaya ikan lele tanpa amis pun tidak terbendung lagi.
Kuncinya Ada pada Resep Jamu
Perbincangan hangat berkisar bagaimana Aminto memulai budidaya lele tanpa amis, hingga harga jual lele produksinya yang lebih tinggi minimal Rp5.000 dibanding produk lele lainnya. Ditemani teh manis, sembari berbincang, Aminto menjelaskan asal-usul teknologi budidaya ikan lelenya, sebetulnya bersumber dari kearifan lokal yang dia adopsi dan modifikasi secara otodidak. Lebih lanjut dia menjelaskan kunci keberhasilan budidaya ikan lele tanpa amis, yang dia dipraktekkan adalah menambahkan jamu ke dalam diet ikan lelenya.

Jamu yang Aminto tambahkan tidak lebih dari yang secara umum dikenal sebagai empon-empon, yaitu: jahe, temu lawak, kunyit putih dan belimbing yang masih hijau atau yang sudah matang, plus beberapa komponen tambahan lainnya. Semua racikan tersebut ditumbuk dan air perasannya difermentasi menjadi cairan jamu anti amis.
Saat akan memberi makan lele, jamu cair yang sudah diracik dan difermentasi tersebut, dicampur dengan pelet makanan ikan lele yang biasa dijual umum. Campurannya pakan dan jamu itu diinapkan atau difermentasi selama 24 jam sebelum digunakan.
Resep jamu tambahan makanan ikan lele ini bisa ditambahkan ke makanan untuk bibit ikan lele yang berukuran 2 – 3 cm, hingga lele dewasa dengan ukuran 5 – 8 ekor per kilogram. Manfaat jamu resep Aminto selain menghilangkan bau amis air kolam dan ikan lele, juga sudah dia buktikan meningkatkan nafsu makan lelenya sehingga cepat besar. Bahkan, menurunkan sifat kanibal ikan lele. Kanibalisme ini juga jadi masalah bagi peternak lele, karena mampu menunrunkan jumlah ikan saat panen.
Tim DPP LDII pun melongo dan geleng kepala, saat Aminto bercerita mengenai bandar lele yang ingin membeli lelenya dengan menawar harga Rp4.000 lebih tinggi dari harga pasar saat itu. Dia hanya angkat tangan dan mempersilakan bandar lelenya untuk mencari dari pembudidaya yang lain saja.
Artinya, walaupun produknya dibeli dengan harga lebih di atas harga pasar, produk lelenya tidak dia lepas. Otomatis kami tercengang, lha biasanya pengepul yang memainkan harga, ini justru petani yang menjadi penentu. Kok bisa? Akhirnya dengan tersenyum Aminto menjelaskan, bahwa di pasar, pengepul yang menjual ikan lelenya selalu lebih cepat habis stok yang dijualnya dibanding pengepul lele yang lain, meskipun harga jual lebih tinggi.
Wah, ibarat barang kualitas premium yang diburu konsumen, gumam kami yang diamini Aminto. Bagi yang memerlukan resep jamu anti amis, silakan komen dibawah, nanti diinfokan resep yang dibagikan Aminto.
Ketika ditanya apa biayanya tidak terlalu mahal untuk memberi jamu ikan lele? Aminto menjelaskan bahwa untuk membuat 40 liter jamu antiamisnya, hanya memerlukan biaya sekitar Rp150.000 – 200.000, karena harga empon-empon di Wonogiri relatif murah, dan ramuan tersebut bisa dia gunakan untuk jamu selama lebih dari sebulan.
Hitungan kasar yang secara cepat kami lakukan membuktikan bahwa biaya jamu tambahan tidak akan menambah harga pokok produksi secara signifikan. Apalagi dengan keuntungan pertumbuhan lele yang lebih cepat, karena meningkatnya nafsu makan dan menurunnya kanibalisme antar sesama lele. Plus utamanya bebas amis yang menjadi unggulan. Masih ditambah harga jual lelenya per kilo minimal lebih mahal Rp5.000.
Tanpa terasa perbincangan pun berlanjut dari ceritera tentang seorang guru besar sebuah universitas yang meremehkannya sebagai jamu abal-abal, tetapi berbalik takjub ketika tanpa penjelasan kata-kata tapi langsung diajak keliling. Aminto membuktikan sendiri produk lele olahannya itu. Bahkan, eorang calon kepala daerah yang sampai nambah empat kali ketika disuguhi lele antiamis ketika kampanye dan berkunjung ke kelompok taninya.
Sambil bergurau Aminto menambahkan, “Tapi janji bantuannya sampai sekarang belum dibuktikan meskipun akhirnya sang calon bupati jadi terpilih.”
Bagaimana soal paten? Aminto menyatakan saya nggak sanggup tapi kalau DPP LDII mau membantu, ia mempersilakan. Sepertinya, pengembangan jamu Aminto tidak hanya terbukti untuk ikan lele, tapi berpotensi untuk dikembangkan sebagai jamu ke ternak lainnya. Meski perbincangan masih terus mengalir, namun waktu sudah menjelang tengah malam dan tim DPP LDII pun harus undur diri.
Kami hanya bisa mengapresiasi, dan menjadi pengalaman yang tak terlupakan, bertemu Aminto, sosok warga LDII yang telah menyumbangkan karya dan kontribusi, dalam bidang ketahanan pangan. Mungkin Aminto tidak menyadari bahwa karya dan kontribusinya sangat relevan dengan Asta Cita (i.e., ketahanan pangan) dan menyumbangkan pencapaian Sustainable Development Goal (SDG) no. 1 (tanpa kemiskinan), no. 2 (tanpa kelaparan), dan no. 3 (kehidupan sehat dan sejahtera), sungguh suatu pengalaman yang tidak terlupakan dan ilmu yang tak terpungkuri manfaatnya. Salam lele tanpa amis dari Gua Pindul, Bejiharjo, Wonogori.
*) Profesor Sudarsono, adalah Guru Besar Ilmu Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua DPP LDII.