Jakarta (24/8). DPP LDII menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) pada 22-24 Agustus 2025 di Grand Ballroom Minhajurrosyidin, Jakarta. Rakornas tersebut menghasilkan keputusan untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan di tengah dunia yang makin multipolar.
“Geopolitik dan geoekonomi yang makin multipolar harus disikapi dengan pilihan politik bangsa Indonesia. Sejak Republik ini berdiri, Indonesia menerapkan prinsip bebas aktif. Kami mendukung upaya-upaya pemerintah yang aktif mengupayakan perdamaian dunia dan perbaikan kesenjangan ekonomi global dalam berbagai forum-forum internasional,” tegas Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Rakornas tersebut sekaligus menjadi ajang DPP LDII untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan, dalam sesi Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK). Perhelatan itu menghadirkan narasumber Pemerhati Politik Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak, Kepala Lemhannas TB. Ace Hasan Syadzily, Jamintel Reda Manthovani, dan Guru Besar Ilmu Sejarah Singgih Tri Sulistiyono.
Dahnil pada kesempatan itu mengingatkan mengenai tantangan terhadap kedaulatan negara, yang tidak hanya datang dari aspek militer, tetapi juga dari aspek non-militer. Menurutnya, ancaman kedaulatan pangan bisa berbentuk krisis pangan, energi, dan air bersih. Kesemuanya itu disebut sebagai faktor krusial yang bisa melemahkan bangsa. “Pertahanan bukan cuma soal tank dan senjata. Kalau kita kalah di pangan, energi, dan teknologi, kita bisa kalah tanpa perang,” ujarnya.
Ia juga memaparkan, negara-negara maju telah mempersiapkan diri untuk krisis pangan dan energi. Ia mengutip survei internasional, survei ekonomi dari The Economist pada 2018, yang memprediksi Amerika Serikat dan Eropa menjadi kawasan paling siap menghadapi krisis pangan 2035, “Amerika Serikat menguasai cadangan minyak di Timur Tengah, dan mereka menimbun cadangan minyak di negeri mereka dengan tidak menambangnya,” tutur Dahnil.
Senada dengan Dahnil, Kepala Lemhannas TB. Ace Hasan Syadzily, mengatakan pentingnya Indonesia memiliki kemandirian pangan, energi, dan industri nasional, “Indonesia sangat beruntung karena kaya sumber daya alam dan memiliki bonus demografi. Namun tantangannya adalah bagaimana mengelola potensi tersebut agar mandiri, tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain,” ungkapnya.
Ketahanan nasional, kata Ace, tidak sekadar soal militer, tetapi mencakup delapan aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, demografi, geografi, kekayaan alam, dan pertahanan keamanan. Ia mengingatkan agar Pancasila terus diperkuat, politik dijalankan dengan bersih, ekonomi dikembangkan secara mandiri, serta masyarakat diberi literasi digital untuk menangkal disinformasi.
Ace juga memaparkan berbagai konflik regional yang berdampak signifikan pada stabilitas global. Konflik Rusia-Ukraina telah mengganggu rantai pasok dunia, sementara konflik Israel-Palestina masih menyisakan masalah relokasi warga Gaza dan kekerasan di Tepi Barat. Ia juga menyinggung pernyataan Presiden Prabowo yang menyatakan Indonesia siap mengakui Israel jika Palestina terlebih dahulu diakui oleh Israel. Selain itu, ketegangan Iran-Israel juga memicu peningkatan harga minyak dunia dan risiko inflasi global.
Menurut Ace, dunia saat ini sedang menggerakkan tatanan global baru atau polisentris, di mana tidak ada lagi satu hegemoni tunggal yang mendominasi. Faktor-faktor seperti hard power, soft power, opini publik digital, algoritma media sosial, budaya populer, hingga peran institusi pendidikan menjadi penentu utama dinamika global.
Pembicara lain, Singgih Tri Sulistiyono mengingatkan mengenai erosi kedaulatan negara, berupa pasar bebas dan neoliberalisme. Krisis moneter 1997-1998, yang memaksa kita terikat utang luar negeri dengan syarat mengurangi subsidi, memicu gejala ketidakpercayaan rakyat terhadap negara, padahal negara adalah fondasi yang harus dirawat.
“Tantangan kedua adalah fragmentasi identitas. Perkembangan teknologi digital dan informasi tanpa filter memungkinkan masuknya konten yang dapat memecah belah persatuan. Isu-isu yang menyulut perbedaan dapat dengan mudah disebarkan untuk kepentingan tertentu,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan tantangan lain yang harus dihadapi adalah disonansi negara dan rakyat. Terjadi ketidakselarasan antara harapan rakyat dengan realitas kebijakan negara, “Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis kebangsaan, yang memicu pemikiran the end of the national state. Ketidakpercayaan terhadap negara bisa mengancam keberlanjutan NKRI,” tegasnya.
Singgih menjelaskan untuk mewujudkan kebangkitan nasional 2.0, Pancasila memiliki peran strategis sebagai kompas ideologis yang mampu menentukan arah bangsa ke masa depan. Harapannya Pancasila tidak hanya sekadar simbol, tetapi harus menjadi landasan untuk Kebangkitan Nasional 2.0. Kebangkitan nasional ini yang mampu merawat eksistensi Republik Indonesia.