PALING UPDATE
Nuansa Persada
No Result
View All Result
Nuansa Persada
No Result
View All Result
Home Nasehat

in Nasehat
395
0

Ilustrasi: Pinterest.

549
SHARES
2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan

Ada satu medan pertempuran yang sering luput kita sadari: pertempuran melawan keterkondisian diri. Ia bukan duel dengan manusia, bukan pula pergumulan dengan alam, melainkan pergulatan melawan batas-batas yang diam-diam kita warisi sejak pertama kali lahir dan membuka mata. Riuh kota atau senyap desa, hembusan asin pantai atau dingin menggigit puncak gunung, didikan keluarga, rayuan pergaulan, bisik nafsu—semuanya menganyam jaring halus yang menutup pandangan kita dari langit kemungkinan keterbukaan. Padahal, hanya jiwa yang berani menanggalkan jaring inilah yang dapat menatap masa depan dengan mata yang cerah dan merdeka.

Saya sendiri, misalnya, terlahir dan menghabiskan delapan belas tahun pertama hidup di pegunungan, tak pernah membayangkan betapa luasnya dunia di luar sana. Hingga suatu hari, untuk pertama kalinya saya berdiri mematung di tepi sebuah pantai di Pantai Selatan Jogja yang istimewa. Di hadapan samudra yang membentang tanpa ujung, saya terdiam. Tertegun. Terbius. Terhipnotis. Di tengah deru ombak, alun gelombang dan angin laut, saya tersadar penuh: ternyata semua air—dari hujan di lereng gunung, rimba gelap hutan, sungai-sungai yang meliuk di lembah, hingga got-got kota—akhirnya bermuara ke laut. Dan laut menampungnya tanpa pernah penuh, tanpa mengeluh, tanpa bisa memilih dan tidak pernah menolak. Ia menerima dengan tangan terbuka, berwibawa, penuh suka, sebab ia memilih berada di tempat yang paling rendah.

Dari situlah saya merasakan isyarat yang halus, cahaya pencerahan yang turun menyambut: kemuliaan sejati justru lahir dari keberanian untuk merendah. Samudra tidak menuntut pujian, tidak meminta balasan, tidak menolak peran, namun semua air akhirnya berebut berlari kepadanya. Tanpa disuruh. Seolah sudah tahu alamatnya. Bukankah ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Furqan:63:

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih, mereka itu adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka dengan kata-kata hinaan, mereka membalasnya dengan mengucapkan ‘salam’. ”

Begitulah hidup bertutur: kemuliaan kerap lahir dari keberanian untuk merendah. Di usia kepala lima, mungkin saya tak punya kekayaan atau jabatan yang membuat orang menoleh, melirik atau berdecak kagum. Sudah sering, ketika melihat-lihat show room mobil pun, tak didekati oleh para salesnya, apalagi ditanya. Banyak yang lebih tinggi, hebat dan sukses dalam tangga duniawi. Begitu pula dalam urusan samawi, tak terhitung yang lebih istiqomah, yang lebih teguh beribadah dibanding saya. Tampang bengal, penampilan kampungan, masih bersemayam. Rasanya belum pantas menyandang kealiman. Namun, bila ukurannya adalah rasa syukur, insya Allah, Allah tahu di mana saya berada. Berdiri dengan tegak menghamba. Dan saya yakin, anugerah yang saya rasakan ini bukan karena kehebatan pribadi, melainkan karena belajar menyelami hidup dengan rendah hati, mengalir, bukan dengan alun kesombongan dan gelombang keangkuhan.

Sebagian orang menganggap rendah hati itu memang seperti keset: diinjak, diabaikan, tak sedap dipandang. Dan lain-lain yang tidak keren. Namun, anehnya, orang-orang yang tetap memilih kerendahan hati justru sering melangkah lebih jauh. Seorang sahabat pernah mengirimkan kutipan indah salah satu Pujangga India, Rabindranath Tagore yang meneguhkan hati saya: “Kita bertemu Yang Maha Tinggi, ketika kita rendah hati.” Jalaluddin Rumi menambahkan dalam Masnawi -nya: “Rendahkanlah dirimu, seperti lembah yang menampung air, maka rahmat akan mengalir kepadamu.”

Jauh sebelum kata-kata itu lahir, Rasulullah ﷺ telah mewasiatkan betapa mulianya sikap merendah.

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَخِي بَنِي مُجَاشِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ذَاتَ يَوْمٍ خَطِيبًا، فَقَالَ:”إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ، وَلَا يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.”

Dari Iyād bin Himār radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ pernah berdiri di hadapan kami saat berdakwah, lalu bersabda: “Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendahkan diri, agar tak seorang pun berbangga di atas yang lain, dan agar tak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ:«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ»

Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu dari Rasulullah ﷺ bersabda: “Sedekah tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis: ” Hendaklah engkau menundukkan hati sebagaimana bumi yang diinjak semua makhluk; dari tanah yang rendah itulah tumbuh pohon yang tinggi.” Sementara filsuf Tiongkok, Lao Tzu , berkata: “Laut adalah raja dari semua sungai, karena ia menempatkan dirinya di bawah mereka.” Lantas, adakah contoh kerendahan yang lebih mulia daripada rendahnya samudra, yang karena posisinya justru menampung segala aliran kehidupan?

Bagi mereka yang telah merasakan manisnya hidup, asinnya garam kehidupan, melalui lika-laku rendah hati, tak sulit untuk bersepakat bahwa merendah itu indah. Bagi yang belum, kalimat ini mungkin terdengar asing atau menimbulkan keberatan. Bahkan ketidaksetujuan sekalian. Namun, izinkanlah saya memberi saran sederhana: pergilah sesekali ke pantai. Bukan hanya untuk healing, tetapi biarkan birunya samudra meneduhkan hati. Dengarkan debur ombak yang tak lelah mengajarkan kesabaran. Hembusan angin yang menitahkan kedermawanan. Pandanglah cakrawala yang tak berbatas, di mana kaki langit berpelukan dengan laut di ujung tak terhingga. Atau gelombang tinggi nan angkuh yang akhirnya memeluk pantai dengan damai. Semua mengingatkan bahwa ketinggian sejati sering justru lahir dari kerendahan yang tulus dan lurus. Seperti samudra yang rendah, namun menampung segalanya. Demikian juga hati yang merendah, akan ditinggikan oleh Allah Yang Maha Kuasa atas Segala-galanya.

Tags: Laut Tenang

Related Posts

Nasehat

Perjalanan Mengumpulkan Bekal Akhirat

by admin
October 9, 2025
0

Kita sering kali lupa, perjalanan terpanjang dan terberat bukanlah ketika di dunia. Melainkan perjalanan menuju akhirat karena menuntut bekal amal yang banyak....

Read more
Kemiskinan
Nasehat

Kemiskinan

by admin
October 6, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan Izinkan menyampaikan teladan indah dari era...

Read more
Istighfar dan Kalimat Thayyibah
Nasehat

Istighfar dan Kalimat Thayyibah

by admin
September 30, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan Ada satu pertanyaan sederhana namun menyentuh...

Read more
Keseimbangan
Nasehat

Keseimbangan

by admin
September 23, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan Adakah praktik spiritual yang sederhana namun...

Read more
Ust. Ryan Tirmidzi
Nasehat

Menemukan Kedamaian Lewat Salat

by admin
September 16, 2025
0

Setiap manusia pasti pernah mengeluh. Saat macet di jalan, saat pekerjaan menumpuk, bahkan saat hal-hal kecil tidak berjalan sesuai rencana. Sikap ini...

Read more
L a p a r
Nasehat

L a p a r

by admin
September 15, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan Ada rasa takjub sekaligus getir ketika...

Read more

Trending

Nasehat

7 hours ago
Nasional

Ponpes Wali Barokah dan LDII Kota Kediri Audiensi dengan Kejari Bahas Jaksa Masuk Pesantren

2 days ago
Nasional

DPP IPI Kunjungi Ponpes Wali Barokah Kediri, Perkuat Jaringan Pesantren

2 days ago
Saat Muswil X, Ketum Dorong LDII DKI Jakarta Sinergi dengan Stakeholder
Lintas Daerah

Saat Muswil X, Ketum Dorong LDII DKI Jakarta Sinergi dengan Stakeholder

2 days ago
Pererat Ukhuwah dan Sinergi Dakwah, Ahmad Ali dan LDII Silaturahim dengan PW Muhammadiyah Malut
Lintas Daerah

Pererat Ukhuwah dan Sinergi Dakwah, Ahmad Ali dan LDII Silaturahim dengan PW Muhammadiyah Malut

3 days ago
Nuansa Persada

Majalah Resmi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Hubungi kami untuk layanan iklan online: marketing@nuansaonline.com

Follow Us

Recent News

October 13, 2025

Ponpes Wali Barokah dan LDII Kota Kediri Audiensi dengan Kejari Bahas Jaksa Masuk Pesantren

October 12, 2025

ARSIP

  • Iklan
  • Privacy & Policy

© 2021 - Designed by LataniyaWeb

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Ekonomi Bisnis
  • Energi
  • Fa Aina Tadzhabun
  • Iptek
  • Apa Siapa
  • Digital
  • Hukum
  • Jejak Islam
  • Kesehatan
  • Kisah Teladan
  • Laporan
  • Lentera Hati
  • Liputan Khusus
  • Lintas Daerah
  • Resonansi
  • Olah Raga
  • Opini
  • Pendidikan
  • Remaja
  • Siraman Rohani
  • Khutbah (PDF)
    • Khutbah Jumat Bahasa Arab
    • Idul Fitri Bahasa Arab
    • Idul Fitri (ust. Aceng Karimullah)
    • Idul Fitri (ust. Imam Rusdi)
    • Idul Adha (ust. Aceng Karimullah)
    • Idul Fitri (Kediri 2017)

© 2021 - Designed by LataniyaWeb

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In