Jakarta (16/11). DPP LDII menggelar “Webinar Bimbingan Teknis Ketahanan Pangan Nasional” di Jakarta pada Minggu (16/11). Ketua DPP LDII Rubiyo, yang juga peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, pihaknya mendorong implementasi inovasi teknologi budidaya kopi dan kakao guna mencapai swasembada pangan.
“Indonesia menargetkan swasembada pangan dapat terwujud tahun 2024-2029 yang tertuang dalam program Asta Cita. LDII sebagai ormas turut serta menyelaraskan program pemerintah dengan 8 bidang pengabdian,” ujar Rubiyo.
Menurut data Internasional Cocoa Organization (ICCO), Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketujuh di dunia, dengan produksi kakao mencapai 180.000 ton per tahun. Selain itu, Indonesia menempati peringkat keempat produsen kopi di dunia, berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA). Hal ini, menjadikan kakao dan kopi menjadi salah satu tanaman potensial yang perlu dibudidayakan.
Dalam kesempatan tersebut, Rubiyo yang juga profesor riset itu menjelaskan kakao dan kopi memiliki nilai jual yang tinggi. “Kakao ini masuk dalam jenis tanaman yang wajib ditunaikan zakatnya, yang artinya kopi dan kakao ini cukup menghasilkan,” ujarnya.
Meskipun kopi dan kakao bukan bahan pangan utama di Indonesia, namun dengan produksi masif, kopi dan kakao tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. “Caranya, jika sorgum menjadi pengganti nasi, dengan menjual kopi dan kakao orang Indonesia bisa beli beras, lauk dan sayur karena nilai tukarnya,” kata peneliti yang menulis 125 karya ilmiah tentang varietas benih tanam seperti kopi dan kakao.
Lebih lanjut, peneliti utama bidang pemuliaan dan genetika tanaman itu memaparkan konsep Tri Dharma perkebunan, yaitu terciptanya lapangan kerja, peningkatan devisa negara, dan pemeliharaan kelestarian lingkungan dan alam. Hal ini menjadikan bidang perkebunan menjadi sektor yang tentunya memiliki prinsip keberlanjutan.
“Contohnya, ketika menanam kopi selain kita akan merekrut orang untuk menjaga kebunnya dan mengolah kopi, selain itu hasilnya bisa dijual dan ekspor. Terlebih lagi, ketika kita tanam di lereng gunung, akar kopi ini termasuk kuat untuk menyerap air hujan dan mencegah longsor,” jelas Prof. Rubiyo.
Menanggapi persaingan produksi di dalam dan luar negeri, Rubiyo menekankan pentingnya mutu produk yang bermula dari pemilihan benih tanam, hingga proses panen dan pengolahannya. Ia menjelaskan tiga aspek untuk meningkatkan daya saing kakao dan kopi diantaranya, mutu terjamin, harga terjangkau, dan produksi yang stabil.
“Pemilihan benih tanam yang berkualitas itu wajib. Meskipun lahan luas, dan fasilitas lengkap, Kalau bahan tanam tidak cocok di lokasi maka tetap tidak akan menghasilkan,” ucap peraih penghargaan Satyalancana Karya Satya X tahun 2014 itu.
Sebagai penutup, Rubiyo mengutarakan tiga poin utama implementasi inovasi tenologi budidaya perkebunan. Pertama, tercapainya produktivitas dan mutu kopi dan kakao dengan benih bermutu. Kedua, peningkatan pendapatan negara serta mendukung ketahanan pangan nasioal. Ketiga, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelestarian lingkungan.
Doktor bidang agronomi dari Institut Pertanian Bogor itu berharap budidaya kopi dan kakao dapat mencapai ketahanan pangan, yang tentunya dapat menunjang generasi Indonesia Emas 2045.” Dengan ketahanan pangan, tentunya rakyat Indonesia tidak perlu memikirkan lagi mau makan apa, dan bisa belajar serta beribadah dengan lancar dan Indonesia bisa fokus pada pengembangan SDM,” kata Rubiyo. (Thifla)














