Praktis, murah, dan menggoda lidah, mi instan kerap jadi solusi cepat saat lapar melanda. Namun, di balik kemudahan tersebut, tersembunyi sederet risiko kesehatan yang tak boleh diremehkan. Menurut dr. Sienny Agustin, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, kebiasaan mengonsumsi mi instan terlalu sering bisa berdampak buruk bagi tubuh dalam jangka panjang.
“Mi instan umumnya tinggi kandungan natrium dan MSG (monosodium glutamat), tapi rendah protein, serat, dan vitamin penting lainnya. Ini bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan jika dikonsumsi berlebihan,” ujar Sienny saat dihubungi, Sabtu (10/5).
Satu bungkus mi instan rata-rata mengandung sekitar 890 mg natrium, atau hampir sepertiga dari batas asupan harian yang disarankan, yakni 2.400 mg. Bila dikombinasikan dengan asupan natrium dari makanan lain, risiko tekanan darah tinggi dan gangguan jantung pun meningkat.
Selain tekanan darah tinggi, dr. Sienny menyebut mi instan juga dapat memicu gangguan pencernaan. “Mi instan termasuk makanan yang sulit dicerna karena komposisi dan bahan tambahannya. Jika terlalu sering dikonsumsi, kerja saluran pencernaan jadi berat dan bisa menimbulkan gangguan seperti sembelit atau perut kembung,” katanya.
Kandungan MSG dan garam yang tinggi juga berkaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit jantung, terutama bagi penderita hipertensi dan mereka yang memiliki riwayat jantung. Konsumsi rutin dapat mempercepat kerusakan pembuluh darah dan menyebabkan penumpukan plak.
Tak hanya itu, fungsi ginjal pun bisa ikut terganggu akibat akumulasi natrium. “Jika ginjal bekerja terlalu keras untuk menyaring kelebihan garam, lama-lama bisa terjadi kerusakan yang menyebabkan pembengkakan atau bahkan gagal ginjal,” tambah Sienny.
Bahaya lain yang jarang disadari adalah dari kemasan mi instan. Beberapa produk menggunakan wadah berbahan styrofoam yang mengandung bisphenol A, zat kimia yang diduga bisa mengganggu sistem hormonal dan meningkatkan risiko kanker, terutama jika terpapar panas dari air mendidih.
Meski demikian, bukan berarti mi instan harus dihindari sepenuhnya. Menurut Sienny, kunci utamanya adalah frekuensi dan cara penyajian. “Jika ingin tetap makan mi instan, sebaiknya tambahkan protein dan serat seperti telur, ayam, serta sayuran. Kurangi penggunaan bumbu instan atau ganti dengan kaldu buatan sendiri,” sarannya.
Ia juga menyarankan masyarakat untuk menjaga pola makan seimbang dan lebih bijak memilih asupan harian. “Mi instan sesekali boleh saja, tapi tubuh tetap butuh nutrisi lengkap dari makanan alami. Jangan sampai kepraktisan hari ini menjadi masalah kesehatan di masa depan,” tutupnya.
Sudah saatnya berpikir dua kali sebelum menyeduh semangkuk mi instan, bukan hanya soal rasa, tapi juga dampaknya bagi kesehatan tubuh. (Wicak/LINES)