Oleh: Thonang Effendi
Siang, menjelang tengah hari di lapangan sepakbola pondok pesantren di timur Jakarta partai final pertandingan sepakbola U-10 antar majelis ta’lim digelar. Dua tim finalis bertanding, menampilkan kemampuan terbaiknya hasil latihan rutin selama ini. Adu penalti menjadi penentu juara karena kedua tim tampil sama hebatnya. Layaknya sebuah final Piala Dunia diperlukan satu tim yang dinobatkan sebagai juara. Hasil akhir satu tim menang dan satu tim kalah dengan selisih satu gol tendangan penalti yang berhasil ditepis oleh kiper.
Kiper tim yang menang diangkat, dibopong sambil bersorak sorai, “Alhamdulillah, Allah memberi kita kemenangan,” kata kapten tim. “Alhamdulillah, akhirnya, hasil latihan yang kita lakukan selama ini berbuah juara,” celetuk salah satu pemain. Satu tim sujud syukur dengan air mata haru menetes tanpa disadari namun alami.
Di sudut lain lapangan, air mata juga mengalir dari tim yang kalah. Rasa sedih, sesal, menyalahkan diri sendiri dan dengan tersedu-sedu penendang penalti yang gagal berucap ”Maafkan aku ya teman-teman, gara-gara tendanganku gagal kita jadi kalah,” tangispun berlanjut. Sang kapten tim, menghela napas panjang menahan sedih berkata, “Qodarullah, hari ini kita belum menang, kita satu tim, kita sudah berusaha sak pol kemampuan (sekuat tenaga)”. Berhenti sejenak, melihat satu per satu teman-temannya. Seketika satu tim hening, mereka sadar dan teringat nasihat dalam pengajian, hidup kita tak lepas dari 4 maqodirullah. Qodar nikmat, kita bersyukur, qodar cobaan, kita bersabar, qodar musibah, kita istirja’, qodar salah, kita bertaubat.
Sang kapten melanjutkan berkata, ”Apapun yang terjadi hari ini, meskipun kita kalah, Alhamdulillah kita masih juara dua. Inilah hasil terbaik yang Allah berikan pada kita”. Salah satu anggota tim menimpali, “Mereka layak juara karena memang permainannya lebih bagus”. Penendang penalti yang gagal turut menimpali, “Kamerun, kalah menang rukun”. Sang kapten berteriak, “Ayo teman-teman kita ucapkan selamat pada tim yang juara”. “Ayo, kita ucapkan selamat dan kita rayakan kemenangan bersama ini,” jawab tim serempak dan semangat.
Kamerun, kalah menang rukun bukan kalimat biasa yang mudah terucap dari tim yang kalah. Ia adalah refleksi hidup yang penuh makna. Kekalahan bukan akhir segalanya, tapi awal dari penerimaan dan kedewasaan. Dalam hidup yang penuh kompetisi dan upaya untuk menjadi sukses dalam segala aspek, kadang kita sering merasa berat untuk menerima kenyataan bahwa dalam sebuah pertandingan ada yang menang dan ada yang kalah, ada kalanya sukses dan ada kalanya gagal. Sebuah pembelajaran berharga bisa kita dapatkan dari permainan sepakbola, dari penentuan juara lewat adu penalti, dari keikhlasan anak-anak menerima kekalahan. Ketika hati belajar menerima kenyataan, hadza qodarullah, maka sepahit apapun kondisi kehidupan terasa nyaman untuk dijalani karena ada Allah yang mencukupinya.
Al-Qur’an mengingatkan kita dalam surat At-tholaq ayat tiga, “…Waman yatawakkal alallahi fahuwa hasbuh…”. Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Ini adalah peringatan untuk berhenti sejenak, merenung dan menyadari pentingnya memiliki sikap tawakal dalam menjalani kehidupan. Meskipun berusaha dan berikhtiar itu penting, namun pada akhirnya hasil dari usaha tersebut adalah kehendak Allah. Percaya dan berserah diri kepada Allah akan mendatangkan ketenangan dan keyakinan bahwa Allah akan selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Di sisi lain untuk mewujudkan kerukunan ada salah satu dari lima syarat kerukunan yang perlu dipraktikkan yaitu banyak sabarnya, keporo ngalah, wani ngalah, dan rebutan ngalah. Sabar merupakan karakter luhur yang harus dimiliki sehingga mampu menghadapi dan menyikapi segala peristiwa kehidupan dengan bijaksana.
Terkait pembiasaan praktik karakter luhur untuk anak-anak melalui permainan sepakbola LDII bekerjasama dengan Forsgi (forum sepakbola generasi Indonesia). Lewat sepakbola anak-anak selain berolahraga juga dibiasakan olah pikir dan olah rasa. Simulasi nyata praktik 29 karakter luhur bisa anak-anak terapkan dalam setiap tahapan latihan dan pertandingan sepakbola. Bagaimana mempraktikkan 6 thobiat luhur; jujur, amanah, mujhid-muzhid, rukun, kompak dan kerja sama yang baik, 4 maqodirullah, 5 syarat kerukunan dan 4 roda berputar terwujud nyata dalam setiap sesi pembinaan maupun saat pertandingan berlangsung.
Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa perilaku berkarakter merupakan keterpaduan olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah rasa (estetika), dan olah raga (kinestetik). Ketika seseorang mampu memadukan keempat komponen ini dalam hidupnya, maka ia akan lebih mudah merasakan diri sebagai manusia yang utuh, seimbang, dan berkarakter.
Akhirnya, membentuk manusia yang utuh, manusia yang seutuhnya memang membutuhkan waktu yang lama. Dimulai dari persiapan di dalam rahim, program seribu hari pertama, pembinaan anak usia dini, cabe rawit, pra remaja, remaja, pra nikah, dewasa dan lansia hingga husnul khotimah. Dan ternyata, ungkapan sederhana, kalah menang rukun memberikan ruang perenungan bahwa harmoni manusia menemukan maknanya.
Penulis:
Thonang Effendi
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII