Salatiga (21/7). Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Salatiga menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Deteksi Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan. Kegiatan ini berlangsung pada Selasa, 9 Juli 2025, di Aula Kantor Kemenag Salatiga, Jalan Diponegoro 136, Salatiga.
Puluhan peserta dari unsur tokoh agama, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga keagamaan di Kota Salatiga hadir dalam kegiatan tersebut. Ketua DPD LDII Kota Salatiga, Siswarsono, turut hadir mewakili ormas keagamaan.
Kepala Kemenag Kota Salatiga, Wiharso, membuka kegiatan dengan menekankan pentingnya komunikasi dan dialog lintas iman untuk menjaga kohesi sosial. Ia menyebut, deteksi dini konflik keagamaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tugas seluruh elemen bangsa. “Kota Salatiga yang dikenal sebagai kota toleran harus terus dijaga dari potensi perpecahan,” ujarnya.
Wiharso, yang didampingi Kasi Bimas Islam Siti Handayani, juga menyoroti pentingnya toleransi dalam praktik ibadah internal umat Islam. Menurutnya, perbedaan dalam fiqh tidak boleh menjadi pemicu pertikaian. “Allah-nya sama, Nabi-nya sama, kiblat dan pedomannya juga sama. Yang kita butuhkan adalah persatuan, bukan perpecahan,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPD LDII Kota Salatiga, Siswarsono, menyampaikan apresiasi atas inisiatif Kementerian Agama Kota Salatiga yang telah menggelar FGD sebagai upaya konkret dalam menjaga harmoni sosial dan mencegah potensi konflik keagamaan. “LDII siap bersinergi dengan pemerintah maupun ormas lain demi mewujudkan Kota Salatiga yang tetap aman, damai, dan rukun sebagaimana yang telah terjaga selama ini,” ujarnya.
Menurutnya, forum seperti ini menjadi ruang yang sangat penting bagi seluruh elemen masyarakat, khususnya organisasi keagamaan, untuk duduk bersama, berbagi pengalaman, sekaligus menyamakan visi tentang pentingnya toleransi dan kerukunan.
“Kami dari LDII selalu berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi dalam menjaga kerukunan umat beragama, baik antar maupun intern umat Islam. Kami percaya, dengan komunikasi yang baik dan terbuka, sekat-sekat perbedaan justru bisa menjadi kekuatan untuk saling memahami dan mempererat persatuan,” ujar Siswarsono.