Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Di zaman serba praktis ini, hampir semua peralatan rumah tangga hadir dengan remote control—alat kecil yang punya kuasa besar. Tak heran jika sering kita saksikan, bahkan anak-anak pun bisa bertengkar hebat hanya karena berebut benda mungil itu. Remote control seolah jadi lambang kekuasaan: siapa yang memegangnya, dialah raja, sang penguasa ruang keluarga.
Sebuah survei dari Institut Televisi Amerika menunjukkan betapa dalamnya remote control ini memengaruhi kehidupan. Sebanyak 34% responden mengaku pernah jatuh dari sofa saat mencoba meraih remote yang tergelincir, 25% mengandalkan jari kaki untuk mengambilnya, dan lebih dari separuh—yakni 53%—lebih memilih melempar atau dilemparkan remote oleh anggota keluarga lain daripada harus berdiri sendiri. Tak tanggung-tanggung, 60% rela mencopot baterai dari alat lain demi menyalakan kembali si kecil berkuasa itu.
Remote control telah membentuk gaya hidup baru. Istilah “couch potato” lahir di Amerika untuk menyebut gaya hidup bermalas-malasan di sofa, menatap layar TV berjam-jam, berpindah saluran tanpa berpindah tempat. Dan semua ini bermula dari ide seorang pria bernama Eugene McDonald di era 1950-an. Ia muak dengan tayangan iklan yang mendominasi televisi. Gagasan revolusionernya bukan mematikan TV, tapi menciptakan alat agar penonton bisa menghindari iklan: remote control.
Versi pertama ciptaannya, Lazy Bones, masih menggunakan kabel dan menyulitkan pengguna. Lalu datanglah Eugene Polley, insinyur yang menciptakan Flashmatic, remote nirkabel pertama—meski masih sederhana, hanya mengandalkan cahaya senter. Kemajuan terus berlanjut. Pada 1956, perusahaan Zenith memperkenalkan Space Command, pengendali berbasis gelombang ultrasonik yang bertahan selama 25 tahun, sebelum akhirnya inframerah menggantikannya dan menjadi standar hingga kini.
Namun yang menarik, remote control ternyata tak hanya mengendalikan perangkat elektronik—ia mencerminkan cara hidup manusia. Remote control telah merevolusi cara kita mengendalikan dunia… namun yang mengkhawatirkan, banyak dari kita kini justru dikendalikan oleh dunia. Banyak dari kita, tanpa sadar, telah menyerahkan “remote control” kehidupan kita kepada orang lain: orang tua, pasangan, bos, opini publik, atau tren media sosial. Kita berpindah arah, mengganti saluran hidup, hanya karena komentar atau tekanan dari luar. Takut dianggap aneh, takut tidak diterima, atau takut dikecam. Al-Qur’an telah mengingatkan:
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِى الْبِلَادِۗ
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh tingkah-polah orang-orang kafir yang bebas bersenang-senang di negeri ini.” (QS Ali Imran: 196)
فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Hud: 112)
Berabad-abad lalu, Nasruddin Hoja—sang filsuf jenaka dari Timur Tengah—telah menyindir gaya hidup seperti ini lewat kisah yang menggelitik. Suatu hari, ia dan putranya pergi ke pasar dengan seekor keledai. Mula-mula Nasruddin menunggang keledai dan anaknya berjalan. Orang-orang mencibir, “Kejam benar, anaknya dibiarkan jalan kaki.” Maka ia turun dan menyuruh anaknya naik. Di tempat lain, terdengar lagi celaan, “Anak durhaka, membiarkan ayahnya berjalan.”
Tak ingin dicela, mereka pun sama-sama berjalan kaki sambil menuntun keledai. Tapi rupanya, tetap saja ada suara sinis: “Orang bodoh, kenapa tidak ditunggangi saja keledainya?” Akhirnya mereka naik berdua. Namun, lagi-lagi ada cemoohan, “Kasihan keledainya, ditunggangi dua orang.” Bingung, mereka memutuskan memanggul keledai bersama—hingga disoraki anak-anak kecil dan jadi bahan tertawaan. Di jembatan kecil, karena frustasi, keledai itu pun dilempar ke sungai.
Lucu. Menohok. Pengin tertawa, namun tertahan. Ada perasaan malu menggema. Yang jelas anekdot ini mengandung pelajaran mendalam. Betapa berbahayanya hidup jika kita terlalu mendengar apa kata orang, tanpa mempertimbangkan prinsip dan akal sehat sendiri. Nasruddin mengajarkan: jika hidupmu selalu dikendalikan oleh komentar dan ekspektasi orang lain, cepat atau lambat kamu akan kehilangan arah—bahkan bisa kehilangan “keledaimu” sendiri, simbol dari apa yang mestinya kamu manfaatkan dan arahkan.
Dalam psikologi, kepribadian seperti ini disebut conformist personality—mereka yang terlalu mudah terpengaruh, terlalu ingin diterima, hingga kehilangan jati diri. Padahal hidup bukan soal menyenangkan semua orang, melainkan soal menjadi pribadi yang utuh, tahu ke mana harus melangkah, dan tahu mengapa harus melangkah ke sana. Imam Syafi’i berpesan;
“Ridha semua manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai. Maka cukupkan dirimu dengan mencari ridha Allah.” Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menambahkan lewat pesan indah kepada muridnya; “Jadilah seperti akar pohon yang kokoh. Walau hujan kritik turun, angin celaan bertiup, ia tetap berdiri, mengalirkan kebaikan dari dalam, bukan dari luar.”
Maka, sebelum kita menyerahkan “remote control” kehidupan kepada orang lain, pikirkan baik-baik: apakah mereka benar-benar tahu saluran mana yang paling sesuai untuk hidupmu? Padahal, hidup adalah tentang berani berjalan di jalur yang diyakini benar, meski tak semua akan menyukainya. Sebab bukan dunia yang akan mempertanggungjawabkan hidup kita, melainkan diri kita sendiri di hadapan Tuhan. Jika peralatan elektronik di rumah kita memang butuh remote untuk dikendalikan, maka hidup kita tidak boleh dikendalikan sembarang tangan. Simak pesan Rumi; “Mengapa engkau terus hidup dari pendapat orang lain? Bukankah engkau tahu, mereka pun sedang tersesat mencari jalannya?” Perkataan indah ini membenarkan titah tua di Kitab Suci;
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguh-nya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra:36)
Selanjutnya warisan indah yang diriwayatkan dari Ummul Mukminīn ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, pun sama. Rasūlullāh ﷺ bersabda:
«مَنْ اِلتَمَسَ رِضَا اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ، فَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ، وَمَنْ اِلتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ، فَسَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسُ.»
“Barangsiapa mencari ridha Allah walaupun membuat manusia murka, maka Allah meridhainya dan menjadikan manusia juga ridha padanya. Dan barangsiapa mencari ridha manusia dengan membuat Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan menjadikan manusia juga murka.” (HR at‑Tirmidhi no. 2414)
Biarlah kini kita hidup di zaman seribu remote control—untuk AC, TV, kipas, dan lampu, tapi jangan sampai kendali atas hidup dan pilihan kita justru kita serahkan kepada siapa pun selain Allah dan prinsip kebenaran. Sebab hanya mereka yang menggenggam “remote” hidupnya sendiri, yang akan sampai ke tujuan dengan teguh dan tenang. Dan dalil indah ini, rasanya cocok sebagai menu penutup.
فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali Imran: 159)
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدً
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam ibadah kepada Tuhannya.” (QS Al-Kahfi: 110)