Kediri (19/8). Lingkungan hidup menjadi salah satu perhatian utama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Sejak Rakernas 2012, LDII telah mendeklarasikan diri sebagai ormas Islam yang peduli lingkungan. Menurut Ketua DPP LDII Sudarsono, komitmen itu diwujudkan melalui sejumlah program nyata, mulai dari penghijauan, pengelolaan sampah, hingga pengukuran cadangan karbon di kawasan hutan.
“Lingkungan hanya ada satu, yaitu bumi tempat kita hidup bersama. Jika tidak dijaga, dampaknya akan menimpa semua pihak. Maka LDII mengambil posisi sebagai ormas Islam yang peduli lingkungan,” ujar Sudarsono.
Sudarsono mengungkapkan, program peduli lingkungan LDII meliputi Go Green dengan penanaman pohon di berbagai daerah, penerapan Zero Waste di pondok pesantren, hingga mendorong sekolah berbasis Adiwiyata. Selain itu, LDII juga aktif mengembangkan Program Kampung Iklim (ProKlim) di sejumlah daerah. “Harapannya, meski kontribusi LDII kecil, namun bisa memberi dampak global dan menginspirasi ormas maupun masyarakat lain untuk ikut peduli,” tambah Guru Besar IPB tersebut.
Kepedulian LDII juga diwujudkan dalam bidang ketahanan pangan. Saat mengunjungi Smart Greenhouse milik SMK Budi Utomo Gadingmangu, ia menilai teknologi pertanian modern ini sebagai solusi masa depan. “Greenhouse ini bisa menghasilkan tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti melon. Selain itu, menjadi media belajar generasi muda agar mereka melihat bertani itu modern, bersih, dan menjanjikan,” jelas Sudarsono.
Selanjutnya, komitmen LDII terhadap konservasi lingkungan semakin kuat dengan dilakukannya pengukuran cadangan karbon di Hutan Kosambiwojo, Wonosalam, pada 14–16 Agustus 2025. Kegiatan ini melibatkan Ketua Departemen Litbang, IPTEK, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan Hidup DPP LDII, Sri Wilarso Budi R dan tim ahli, yang melakukan penghitungan potensi hutan dalam menyerap karbon dioksida (CO₂).
Pengukuran dilakukan di lahan ±26 hektare kawasan perkemahan CAI Kosambiwojo. Tim membuat plot pengukuran berukuran 20 × 50 meter sebagai unit dasar, yang dibagi sesuai kategori vegetasi: dari serasah, tumbuhan bawah, pancang, tiang, hingga pohon besar.
“Setiap batang pohon diukur keliling dan tingginya, lalu dihitung kapasitas penyimpanan karbonnya. Dengan intensitas sampling 5 persen, dari total luas 26 hektare dibutuhkan sekitar 13 plot,” jelas Wilarso.

Metode ini menghasilkan data cadangan karbon yang akurat, yang nantinya bisa dimanfaatkan dalam perdagangan karbon. Menurutnya, fenomena ini menjadi peluang besar di era industri yang tengah mengejar target net zero emission. “Cadangan karbon hutan bukan hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat melalui mekanisme carbon trading,” tambah Wilarso.
Selain menghitung jumlah karbon, tim juga mendata keanekaragaman hayati hutan. Menariknya, di kawasan Wonosalam ditemukan banyak pohon salam berukuran besar. Hal ini sesuai dengan nama daerahnya, karena “Wonosalam” berarti hutan salam.
Menurut Sudarsono, pohon salam memiliki nilai ekologis sekaligus kuliner, sehingga perlu dijaga agar tidak punah. Data hasil pengukuran nantinya akan dianalisis lebih lanjut di laboratorium untuk mengetahui total cadangan karbon dan nilai ekonominya.
Lebih jauh, ia menegaskan ada tiga isu lingkungan global yang paling mendesak saat ini. “Perubahan iklim akibat meningkatkan gas rumah kaca. Hilangnya biodiversitas dalam jumlah besar. Serta masifnya polusi akibat industrialisasi,” tutur Sudarsono.
Karena itu, langkah LDII menggabungkan edukasi lingkungan, pertanian modern, dan pengukuran cadangan karbon dianggap strategis untuk menghadapi tantangan global tersebut.