Kediri (25/5). DPP LDII menggelar webinar Pelatihan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sebagai langkah awal mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Kegiatan ini berlangsung pada 23-25 Mei di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kota Kediri.
Pengurus DPP LDII dari Departemen Pengabdian Masyarakat (Penamas), Rio Azadi membahas secara teknis pembentukan dan penguatan peran TPPK di berbagai satuan pendidikan, baik formal maupun pesantren. Dalam pemaparannya, Rio menjelaskan bahwa pelatihan ini dirancang untuk membekali tim dalam upaya pencegahan serta penanganan kekerasan di lingkungan sekolah.
“Kita sedang mempersiapkan tim yang akan menjadi garda terdepan dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan,” ujar Rio.
Materi pelatihan mengacu pada dua regulasi utama, yakni Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, serta Permenaker Nomor 22 yang mengatur pembentukan satuan tugas penanganan kekerasan seksual. Sinergi antara kedua regulasi ini menjadi fondasi pembentukan TPPK di seluruh satuan pendidikan LDII, termasuk sekolah formal, pesantren klasikal, dan boarding school.
LDII menargetkan seluruh satuan pendidikannya telah membentuk TPPK paling lambat akhir tahun 2025. Keberadaan tim ini diharapkan menjadi wujud nyata kontribusi LDII dalam mendukung program pemerintah dan membangun karakter generasi muda yang tangguh dan berintegritas.
Struktur TPPK diatur minimal terdiri dari tiga unsur, yaitu perwakilan tenaga pendidik, orang tua, dan pemimpin satuan pendidikan. Mereka dipilih melalui seleksi internal yang ketat dan dipastikan tidak memiliki rekam jejak dalam kasus kekerasan.
“TPPK dibentuk melalui musyawarah yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sekolah. Setelah ditetapkan, anggota tim diberikan Surat Keputusan (SK) dan didaftarkan ke Data Pokok Pendidikan (Dapodik) untuk sekolah formal,” jelas Rio.
Selain mekanisme pembentukan tim, Rio juga membahas prinsip-prinsip pencegahan kekerasan. Diantaranya tata kelola kelembagaan, edukasi, serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung. Prosedur penanganan kasus dilakukan secara sistematis, mulai dari penerimaan laporan, proses verifikasi, analisis kasus, pemberian sanksi, hingga upaya pemulihan bagi korban maupun pelaku.
“Sanksi yang dijatuhkan disesuaikan dengan tingkat pelanggaran, dari teguran tertulis hingga pemecatan bagi pelaku dewasa. Namun yang utama, hak pendidikan anak tetap harus dijamin dan dijaga,” tegasnya.
Melalui pelatihan ini, LDII berharap dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif, aman, dan berpihak pada korban, sekaligus menjadi bagian dari gerakan nasional untuk memberantas kekerasan di dunia pendidikan.