80 tahun Indonesia merdeka, usia yang matang jelang seabad eksistensi suatu negara bangsa. Lingkungan menjadi perhatian agar bangsa ini tetap eksis hingga seabad ke depan.
Di banyak tempat, Agustus dirayakan dengan gegap gempita. Anak-anak lomba makan kerupuk, ibu-ibu karnaval baju adat, dan bendera merah putih menghiasi gang-gang sempit. Saat semua sibuk mempersiapkan panggung perayaan, warga LDII di seluruh Indonesia juga tak luput merayakan kegembiraan itu.
Mereka membersihkan masjid, merapikan taman, menyapu sekolah dan jalanan kampung—mengerjakan sesuatu yang sederhana, tapi menyimpan makna mendalam dalam agenda kerja bakti nasional.
Agenda ini dimulai dengan kick off secara nasional di Kantor DPP LDII, Senayan, Jakarta, pada Minggu (3/8). Namun kerja bakti tidak berhenti hanya di Jakarta. Tapi dilanjutkan secara serentak dan bertahap di seluruh tingkatan organisasi, dari DPW, DPD, hingga PC dan PAC LDII di seluruh Indonesia.
Sekretaris Umum DPP LDII, Dody T. Widjaya, mengungkapkan bahwa Kerja Bakti Nasional merupakan agenda tahunan yang diinisiasi DPP LDII untuk menyambut bulan kemerdekaan dengan cara yang berbeda. “Ini kegiatan rutin tiap tahun, bagian dari rasa syukur sekaligus wujud cinta tanah air,” kata Dody.
Kerja bakti memang bukan ide baru. Tapi justru karena ia begitu tua, sering kali dilupakan. Nenek moyang kita mempraktikkannya bukan sebagai seremoni, tapi sebagai cara hidup: saling menolong, saling jaga, saling rawat.
Kini, di tengah ancaman krisis iklim dan bencana ekologis, menjaga lingkungan bukan lagi urusan aktivis atau LSM semata. Namun merupakan tanggung jawab sipil setiap warga yang masih waras, “Bumi ini hanya satu. Kita harus menjaga kelestariannya,” ungkap Ketua DPP LDII, Rubiyo.
Nilai seperti bersih, tertib, dan peduli lingkungan, menurutnya, harus ditanamkan sejak usia muda. Untuk itu, DPP LDII melibatkan generasi muda dari Satuan Komunitas Sekawan Persada Nusantara (SAKO SPN) untuk turut terlibat dalam aksi gerakan kerja bakti nasional membersihkan lingkungan sekitar, “Karena anak-anak belajar bukan dari apa yang kita katakan, tapi dari apa yang mereka lihat kita lakukan,” lanjutnya.
Kerja bakti, jika kita renungkan dalam-dalam, adalah pendidikan karakter yang paling nyata. Kerja bakti membentuk rasa tanggung jawab tanpa ceramah, menumbuhkan cinta tanah air tanpa slogan, memperkuat kebersamaan tanpa perlu teknologi. Dan juga menanam harapan, bahwa yang sederhana pun bisa menyelamatkan masa depan.
Di usia 80 tahun kemerdekaan ini, sudah saatnya kita mengubah arah. Dari perayaan menuju perenungan. Dari euforia menuju evaluasi. Dari nostalgia menuju komitmen baru. Karena nasionalisme bukan soal bendera di dada, tapi soal bagaimana kita menjaga bumi di bawah kaki kita. Bukan soal menyanyikan lagu kebangsaan, tapi bagaimana kita memperlakukan sesama warga bangsa.
Di tengah nasionalisme yang makin ramai tapi terasa hampa, kerja bakti memberi alternatif: nasionalisme yang diam-diam bekerja, tak banyak bicara soal NKRI harga mati, tapi bisa dengan menyapu jalanan tanpa pamrih.
Mungkin, inilah bentuk cinta tanah air yang paling jujur. Bukan tentang seberapa besar bendera yang kita pasang, tapi tentang seberapa kecil sampah yang kita pungut. Bukan tentang seberapa lantang kita berteriak “merdeka!”, tapi seberapa dalam kita menghayati artinya hari ini.
Tahun ini, Indonesia genap 80 tahun merdeka. Kita punya dua pilihan: tetap berpesta di atas tanah yang makin lelah, atau mulai berjalan pelan, memungut sampah yang tercecer, dan berkata dalam hati: “Ini tanahku. Ini tanggung jawabku.”
Karena kalau bukan kita yang menjaga, maka jangan pernah berharap negeri ini akan tetap merdeka 80 tahun ke depan.