Oleh Sudarsono dan Atus Syahbudin*
“Perubahan iklim tak lagi jauh—ia sudah mengetuk pintu kampung-kampung kita. Program Kampung Iklim (ProKlim) hadir sebagai harapan, menjanjikan aksi nyata dari masyarakat akar rumput. Tapi di balik label dan seremoni, muncul pertanyaan: benarkah kampung-kampung ini sudah benar-benar siap melawan krisis iklim?”
Bayangkan sebuah kampung kecil di pesisir Sulawesi yang dulunya langganan banjir rob, kini berubah menjadi benteng hijau yang tangguh menghadapi perubahan iklim. Warganya menanam mangrove, mengelola sampah, dan berbagi pengetahuan tentang cuaca ekstrem. Ini bukan cerita fiksi. Ini adalah potret nyata dari kampung iklim yang berhasil.
Namun, di balik kisah inspiratif itu, terbentang kenyataan yang jauh lebih kompleks. Program Kampung Iklim (ProKlim) yang digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak lebih dari satu dekade lalu, menjanjikan transformasi besar: menjadikan masyarakat sebagai garda depan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Di atas kertas, ProKlim adalah jawaban atas tantangan zaman. Tapi di lapangan, apakah ia benar-benar menjelma menjadi gerakan akar rumput yang berdampak?
Di banyak daerah, ProKlim masih terjebak dalam seremoni. Label “kampung iklim” ditempelkan tanpa perubahan nyata. Warga bingung, aparat pasif, dan kegiatan berhenti setelah kunjungan pejabat selesai. Ironisnya, kampung-kampung yang paling rentan terhadap dampak iklim justru sering luput dari perhatian.
Tulisan ini mengajak kita menyelami lebih dalam: bagaimana ProKlim dirancang, bagaimana ia dijalankan, dan mengapa kesenjangan antara teori dan kenyataan begitu mencolok. Kita akan menelusuri kisah sukses yang patut ditiru, sekaligus menguliti kelemahan sistemik yang perlu dibenahi. Karena jika kampung adalah titik awal perubahan, maka ProKlim seharusnya menjadi revolusi, bukan sekadar program dan seremoni.
Dari Konsep Besar ke Aksi Nyata
Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan—ia sudah mengetuk pintu rumah kita. Dari musim yang tak menentu, banjir bandang, hingga gelombang panas yang memecahkan rekor, dampaknya terasa hingga ke kampung-kampung terpencil. Di tengah krisis ini, lahirlah sebuah gagasan besar: Program Kampung Iklim, atau yang akrab disebut ProKlim.
Digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ProKlim adalah jawaban atas pertanyaan mendesak: bagaimana masyarakat bisa menjadi aktor utama dalam menghadapi perubahan iklim? Bukan hanya sebagai korban, tapi sebagai pelaku perubahan. Program ini dirancang untuk mendorong aksi adaptasi dan mitigasi iklim berbasis komunitas, dengan pendekatan yang inklusif dan partisipatif.
Secara teoritis, ProKlim berdiri di atas tiga pilar utama:
- Adaptasi terhadap perubahan iklim: Masyarakat diajak untuk mengenali risiko iklim lokal dan meresponsnya secara aktif. Contohnya, pengelolaan air bersih, pertanian tahan iklim, dan sistem peringatan dini bencana.
- Mitigasi emisi gas rumah kaca: Warga dilibatkan dalam aksi nyata seperti penghijauan, pengelolaan sampah, penggunaan energi terbarukan, dan transportasi ramah lingkungan.
- Penguatan kelembagaan dan partisipasi masyarakat: ProKlim menekankan pentingnya kolaborasi antara warga, pemerintah desa, akademisi, dan sektor swasta. Bukan sekadar proyek, tapi gerakan sosial yang berkelanjutan.
Di atas kertas, ProKlim adalah mimpi indah: kampung-kampung yang mandiri secara ekologis, tangguh menghadapi bencana, dan aktif menjaga bumi. Tapi seperti banyak kebijakan ambisius lainnya, tantangannya terletak pada implementasi.
Ketika Label “Kampung Iklim” Tak Selalu Berarti Perubahan
Di panggung kebijakan nasional, Program Kampung Iklim (ProKlim) tampil gemilang. Angka-angka capaian dipaparkan dalam konferensi, penghargaan diserahkan dalam seremoni megah, dan daftar kampung iklim terus bertambah setiap tahun. Pemerintah menyebut ribuan lokasi telah terdaftar sebagai peserta ProKlim, seolah Indonesia sedang bergerak serempak menuju ketahanan iklim.
Namun, mari kita geser sorotan dari panggung ke belakang layar. Di banyak kampung, label “kampung iklim” tak lebih dari papan nama yang dipasang di balai desa. Kegiatan yang dijalankan sering kali bersifat seremonial: penanaman pohon sekali setahun, lomba kebersihan lingkungan, atau sosialisasi singkat yang tak berlanjut. Setelah itu, sunyi.
Realitasnya, banyak warga bahkan tidak tahu bahwa kampung mereka masuk dalam program ProKlim. Mereka tidak pernah diajak berdiskusi, tidak dilibatkan dalam perencanaan, apalagi diberi pelatihan teknis. Program berjalan di atas kertas, bukan di atas tanah tempat mereka berpijak.
Lebih ironis lagi, kampung-kampung yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim—yang seharusnya menjadi prioritas utama—justru sering luput dari perhatian. Sementara kampung yang sudah relatif maju, dengan akses informasi dan dukungan LSM, lebih mudah memenuhi indikator ProKlim dan mendapat pengakuan.
Retorika kebijakan menyebut ProKlim sebagai gerakan partisipatif. Tapi di lapangan, partisipasi sering kali bersifat pasif dan simbolik. Warga menjadi objek program, bukan subjek perubahan. Padahal, inti dari ketangguhan iklim adalah kesadaran dan aksi kolektif yang tumbuh dari bawah.
Jika ProKlim ingin menjadi lebih dari sekadar program penghargaan, maka ia harus berani menghadapi kenyataan: bahwa perubahan iklim tidak bisa dilawan dengan seremoni, melainkan dengan transformasi sosial yang nyata dan berkelanjutan.
Ketika Kampung Menjadi Inspirasi Iklim
Di tengah sorotan terhadap kelemahan implementasi ProKlim, sejumlah kampung membuktikan bahwa perubahan iklim bisa dilawan dari halaman rumah sendiri. Mereka bukan hanya menjalankan program, tapi menjadikannya bagian dari budaya hidup. Berikut beberapa kisah inspiratif yang layak menjadi teladan:
Mamboro Barat, Palu — Mangrove sebagai Tameng Kehidupan. Kelurahan Mamboro Barat di pesisir Palu dulunya rawan banjir rob dan abrasi. Namun sejak menjadi bagian dari ProKlim, warga setempat berinisiatif menanam mangrove secara masif. Mereka tak menunggu bantuan datang, melainkan bergotong royong membangun benteng alami. Hasilnya? Banjir berkurang, ikan kembali melimpah, dan kesadaran lingkungan tumbuh pesat. Program pengelolaan sampah dan edukasi iklim pun berjalan aktif, melibatkan anak-anak sekolah hingga ibu rumah tangga.
Seratus Desa di Sumatera Selatan — Ekonomi Hijau yang Membumi. Melalui kolaborasi antara KLHK, UNOPS, dan PT Sucofindo, seratus desa di Sumatera Selatan menjalani transformasi menuju ekonomi hijau. Warga dilatih mengelola pertanian berkelanjutan, memanfaatkan energi terbarukan, dan mengembangkan usaha ramah lingkungan. Pendampingan teknis dan pelatihan intensif membuat masyarakat lebih percaya diri menghadapi tantangan iklim. Di sini, ProKlim bukan sekadar program, tapi jalan hidup baru yang menghubungkan ekologi dan ekonomi.
Desa-desa di Jawa Tengah dan Bali — Konsistensi yang Berbuah Penghargaan. Beberapa desa di Jawa Tengah dan Bali telah menerima penghargaan ProKlim Utama karena konsistensi mereka dalam menjalankan aksi adaptasi dan mitigasi. Praktik biopori, bank sampah, pertanian organik, dan konservasi air menjadi rutinitas warga. Mereka tak hanya memenuhi indikator, tapi melampauinya dengan inovasi lokal. Bahkan, beberapa desa menjadikan ProKlim sebagai platform wisata edukasi lingkungan.
Berbagai Proklim Binaan LDII. ProKlim Utama Sangurejo menjadi inspirasi nasional dengan menghubungkan aksi iklim dan pendidikan karakter melalui Kampung Pramuka. Warga, pramuka, dan akademisi berkolaborasi dalam penanaman, pengelolaan sampah, konservasi air, serta edukasi lingkungan. Sangurejo membuktikan perubahan besar bisa dimulai dari kampung, bahkan melahirkan Museum ProKlim.
Proklim Utama RW 05 Agrowisata Pekanbaru menjelma laboratorium hidup ProKlim, memadukan ketahanan pangan, ekonomi hijau, dan teknologi pirolisis untuk energi bersih. Komposter sirkular, konsensus bebas asap rokok, serta dukungan LDII menjadikannya teladan nasional pembangunan berkelanjutan: kampung mandiri, hijau, sehat, dan tangguh menghadapi krisis iklim.
Proklim Utama Dusun Ngampel, Desa Gentungan, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar merupakan contoh lain keberhasilan ProKlim. Dari Proklim Utama, Dusun Ngampel berkembang menjadi produsen dan pelestari pertanian pangan organic, pusat pelatihan masyarakat, dan tempat praktek lapang dan KKN mahasiswa berbagai perguruan tinggi.
Kisah-kisah ini membuktikan bahwa ProKlim bisa berhasil jika didukung oleh tiga elemen kunci: pendampingan yang intensif, partisipasi aktif masyarakat, dan sinergi antar pemangku kepentingan. Mereka menunjukkan bahwa kampung bukan hanya tempat tinggal, tapi bisa menjadi laboratorium perubahan iklim yang nyata. Namun, pertanyaannya tetap menggantung: mengapa kisah sukses ini masih menjadi pengecualian, bukan kebiasaan? Di sinilah kita perlu menelusuri lebih jauh kesenjangan implementasi yang menghambat replikasi keberhasilan.
Ketika Ide Besar Tersandung di Jalan Kampung
Di atas kertas, Program Kampung Iklim (ProKlim) adalah mahakarya kebijakan lingkungan: partisipatif, inklusif, dan berbasis komunitas. Tapi ketika ide besar itu turun ke jalan kampung, banyak yang tersandung. Kesenjangan antara teori dan praktik begitu nyata, dan jika tak segera dibenahi, ProKlim berisiko menjadi program yang kehilangan makna.
Kesenjangan Partisipasi: Warga Sebagai Penonton. Salah satu masalah mendasar adalah partisipasi yang semu. Banyak kampung yang “diikutkan” dalam ProKlim tanpa proses dialog yang memadai. Warga tidak tahu apa itu adaptasi iklim, apalagi bagaimana cara melakukannya. Mereka hanya diminta hadir saat seremoni, bukan diajak berpikir dan bertindak sebagai agen perubahan. Padahal, ketangguhan iklim tidak bisa dibangun tanpa kesadaran kolektif.
Kesenjangan Kapasitas: SDM dan Infrastruktur yang Timpang. Tidak semua daerah memiliki sumber daya manusia yang siap menjalankan program lingkungan. Di beberapa kampung, perangkat desa bahkan belum memahami konsep dasar perubahan iklim. Ditambah lagi, minimnya infrastruktur pendukung seperti akses internet, alat ukur cuaca, atau fasilitas pengelolaan sampah membuat implementasi ProKlim berjalan pincang. Tanpa dukungan teknis yang memadai, kampung hanya bisa berbuat sebatas niat.
Kesenjangan Geografis dan Sosial: Jawa vs Luar Jawa. Ada kecenderungan bahwa kampung-kampung di Jawa lebih mudah mendapat akses informasi, pendampingan, dan pengakuan. Sementara kampung di luar Jawa, terutama di wilayah timur Indonesia, sering kali tertinggal. Padahal, mereka justru menghadapi risiko iklim yang lebih ekstrem. Ketimpangan ini menciptakan jurang antara kampung yang “siap” dan kampung yang “butuh”.
Kesenjangan Pemantauan dan Evaluasi: Data yang Tak Bicara. Salah satu kelemahan sistemik adalah minimnya mekanisme pemantauan yang transparan dan partisipatif. Banyak kampung tidak tahu apakah mereka berhasil atau gagal dalam menjalankan ProKlim. Indikator keberhasilan sering kali bersifat administratif, bukan berbasis dampak nyata. Tanpa data yang jujur dan terbuka, sulit melakukan perbaikan yang tepat sasaran.
Kesenjangan-kesenjangan ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyadarkan. Bahwa jika ProKlim ingin menjadi gerakan perubahan, ia harus berani menghadapi kenyataan. Bukan hanya memperluas jumlah kampung iklim, tapi memperdalam kualitasnya. Karena perubahan iklim tidak bisa dilawan dengan papan nama, melainkan dengan aksi nyata yang tumbuh dari kesadaran warga.
Agar ProKlim Tak Sekadar Program, Tapi Gerakan
Jika ProKlim ingin bertahan sebagai motor perubahan, ia harus keluar dari jebakan seremoni. Program ini tidak boleh berhenti pada papan nama atau penghargaan tahunan, melainkan menjelma menjadi gerakan sosial yang hidup di tengah masyarakat. Ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh.
Pertama, penguatan kapasitas lokal. Perubahan iklim adalah isu kompleks, tapi bukan berarti tak bisa dipahami. Edukasi iklim harus disampaikan dengan bahasa lokal, pendekatan visual, dan metode yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Pelatihan teknis untuk perangkat desa, tokoh masyarakat, dan kelompok pemuda bisa menjadi titik awal. Jangan hanya bicara karbon, tapi tunjukkan bagaimana perubahan iklim memengaruhi panen, air bersih, dan kesehatan warga.
Edukasi iklim harus membumi, menggunakan bahasa sederhana dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Pelatihan teknis untuk perangkat desa, tokoh masyarakat, hingga kelompok pemuda akan melahirkan agen-agen perubahan yang paham risiko iklim dan mampu merancang solusi nyata.
Kedua, pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Warga harus dilibatkan sejak awal, bukan sekadar diminta hadir saat seremoni. ProKlim akan lebih kuat jika dibangun dari bawah, bukan diturunkan dari atas. Libatkan warga sejak tahap perencanaan: ajak mereka memetakan risiko iklim, merancang solusi, dan mengevaluasi dampaknya. Bangun kemitraan dengan akademisi, LSM, sektor swasta, dan media lokal. Kampung iklim yang kuat adalah kampung yang punya jejaring, bukan yang berjalan sendiri.
Ketiga, pemantauan berbasis komunitas. Kampung iklim perlu memiliki mekanisme evaluasi sederhana namun transparan. Sediakan alat pemantauan sederhana yang bisa digunakan warga: aplikasi pelaporan, papan informasi iklim, atau sistem peringatan dini berbasis lokal. Dorong transparansi dengan membuka data keberhasilan dan tantangan setiap kampung iklim. Data yang jujur dan terbuka akan membantu masyarakat melihat dampak nyata, sekaligus mendorong perbaikan berkelanjutan. Evaluasi bukan untuk menghakimi, tapi untuk belajar dan memperbaiki.
Keempat, dorongan inovasi dan insentif. Kreativitas lokal harus diberi ruang: dari pupuk organik buatan sendiri, sistem irigasi hemat air, hingga kampanye lingkungan berbasis seni dan budaya. Pemerintah bisa memberikan insentif berupa dana pendampingan, akses pasar untuk produk hijau, atau penghargaan yang benar-benar berdampak. Jangan biarkan semangat warga padam karena kurang dukungan.
Dengan strategi ini, ProKlim bisa melampaui status sebagai program pemerintah. Ia akan menjadi gerakan rakyat yang tumbuh dari desa ke desa, menjadikan kampung sebagai benteng terakhir melawan krisis iklim.
ProKlim punya potensi besar untuk menjadi gerakan akar rumput yang mengubah wajah desa-desa di Indonesia. Tapi potensi itu hanya akan terwujud jika kita berani keluar dari pola lama: dari seremoni ke aksi, dari simbol ke substansi. Karena iklim tak menunggu, dan kampung-kampung kita tak boleh tertinggal.
ProKlim Harus Jadi Katalis SDG
ProKlim sebaiknya tidak hanya diposisikan sebagai program lingkungan, tetapi juga sebagai katalis untuk pencapaian SDG lain. Selain sebagai program lingkungan, Proklim juga relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutam (Sustainable Development Goal, SDG), misalnya SDG 13 – Penanganan Perubahan Iklim, SDG 11 – Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan, SDG 15 – Kehidupan di Darat.
ProKlim secara langsung berhubungan dengan SDG 13 karena fokus utamanya adalah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Aksi penghijauan, pengelolaan sampah, energi terbarukan, dan sistem peringatan dini bencana adalah bentuk nyata kontribusi terhadap target global menekan emisi dan meningkatkan ketahanan masyarakat. ProKlim mendorong kampung dan desa menjadi lebih tangguh terhadap bencana, lebih ramah lingkungan, dan berdaya secara sosial-ekonomi. Bank sampah, pertanian organik, dan konservasi air adalah contoh praktik yang membuat permukiman lebih layak huni dan berkelanjutan, yang relevan dengan SDG 11. Rehabilitasi mangrove, penghijauan desa, dan konservasi lahan adalah kontribusi nyata ProKlim terhadap perlindungan ekosistem darat dan pesisir, yang sangat relevan dengan SDG 15. ProKlim membantu menjaga keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan fungsi ekosistem sebagai benteng alami terhadap dampak iklim.
Dengan mengaitkan ProKlim ke SDG yang relevan, kampung-kampung iklim tidak hanya menjadi simbol adaptasi lokal, tetapi juga bagian dari komitmen global Indonesia dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, evaluasi ProKlim perlu menggunakan indikator yang selaras dengan target SDG, misalnya pengurangan emisi (SDG 13), peningkatan akses energi bersih (SDG 7), atau luas lahan hijau yang dipulihkan (SDG 15). Agar menjadi gerakan yang bermakna, ProKlim perlu melibatkan kementerian lain, swasta, dan masyarakat sipil agar menjadi gerakan lintas bidang, dan bukan hanya program Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Dari Kampung, Untuk Iklim, Demi Masa Depan
Program Kampung Iklim (ProKlim) adalah cermin dari harapan besar bangsa ini: bahwa perubahan iklim bisa dilawan bukan hanya dari ruang konferensi, tapi dari halaman rumah warga. Ia adalah bukti bahwa desa-desa di Indonesia punya potensi luar biasa untuk menjadi benteng terakhir dalam menjaga bumi. Namun, harapan saja tidak cukup. Tanpa komitmen nyata, pendampingan yang konsisten, dan partisipasi yang bermakna, ProKlim berisiko menjadi program yang kehilangan ruhnya. Label “kampung iklim” tak akan berarti jika tak diiringi perubahan perilaku, inovasi lokal, dan keberlanjutan aksi. Kita telah melihat bahwa keberhasilan bukan mustahil. Kampung-kampung di Palu, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Bali menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, ProKlim bisa menjadi gerakan sosial yang hidup. Tapi agar kisah sukses itu tak hanya jadi cerita inspiratif, kita perlu menjadikannya standar, bukan pengecualian.
Karena pada akhirnya, perubahan iklim tidak menunggu kesiapan kita. Ia terus bergerak, dan hanya kampung-kampung yang tangguh, adaptif, dan berdaya yang akan mampu bertahan. Maka, mari kita dorong ProKlim menjadi lebih dari sekadar program pemerintah—jadikan ia gerakan rakyat yang menyala dari desa ke desa, dari kampung ke kampung, demi masa depan yang lebih hijau dan adil.
ProKlim harus dipandang bukan sekadar program administratif, melainkan gerakan sosial yang menyalakan kesadaran ekologis dari kampung ke kampung. Keberhasilan nyata di beberapa lokasi menunjukkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari komunitas kecil dengan dukungan yang tepat. Namun, agar tidak berhenti pada seremoni, diperlukan pendampingan berkelanjutan, kolaborasi lintas sektor, dan indikator yang selaras dengan SDG. Dengan begitu, ProKlim akan menjadi katalis pembangunan berkelanjutan sekaligus benteng rakyat menghadapi krisis iklim.
*) Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc, adalah Koordinator Bidang (Korbid) Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), Sumberdaya Alam, dan Lingkungan Hidup (LISDAL), Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII)
Ir. Atus Syahbudin, S.Hut., M.Agr., Ph.D., IPU., adalah Anggota Departemen LISAL DPP LDII.








