Oleh: Thonang Effendi
Di suatu sore yang damai, langit Jogja menggantungkan cahaya lembut di ufuk barat. Di sebuah angkringan kecil pinggir jalan, sekumpulan bapak-bapak duduk santai. Di hadapan mereka, cangkir-cangkir kaleng tua berisi teh panas dengan gula batu mengepul perlahan. Obrolan mereka sederhana, tentang keluarga, pekerjaan, dan harga sembako.
Tapi ada satu hal yang menarik perhatian: wajah-wajah itu tampak bahagia. Ada senyum yang tulus, ada tawa yang ringan, ada kelegaan yang tak dibuat-buat. Seseorang nyeletuk, “Bahagia itu ternyata sederhana ya… secangkir teh sore, ngobrol santai, hati tenang.” Yang lain menimpali, “Sitik-sitik disyukuri.”
Ungkapan “sitik-sitik disyukuri” dalam budaya Jawa bukan sekadar kiasan. Ia adalah refleksi hidup yang penuh makna. Dalam kehidupan yang serba cepat dan seringkali memaksakan pencapaian-pencapaian besar, kita sering lupa bahwa bahagia bisa dimulai dari hal-hal kecil. Dari secangkir teh yang hangat, dari angin sore yang sejuk, dari pertemuan yang penuh canda. Ketika hati belajar bersyukur, maka nikmat yang kecil pun terasa berlimpah.
Al-Qur’an mengingatkan kita dalam surat Ar-Rahman dengan ayat yang berulang, “Fabiayyi aalaa’i rabbikumaa tukadzdzibaan”—maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Ini adalah seruan untuk berhenti sejenak, melihat sekitar, dan menyadari betapa banyak nikmat yang sering kita abaikan. Harta, kesehatan, keluarga, waktu luang, dan bahkan secangkir teh sore adalah karunia yang patut disyukuri.
Falsafah Jawa juga memberi sumbangsih penting dalam membentuk kesadaran ini. Melalui ajaran Ki Ageng Suryomentaram yang dikenal dengan 6 Sa, kita diajak untuk hidup selaras dan sederhana:
- Sabutuhé – sesuai kebutuhan.
- Saperluné – sesuai keperluan.
- Sacukupé – tidak berlebihan.
- Sabeneré – apa adanya.
- Samesthiné – sesuai seharusnya.
- Sakepenaké – dengan kelapangan hati.
Ketika seseorang mampu menerapkan keenam prinsip ini dalam hidupnya, maka ia akan lebih mudah merasakan kebahagiaan dalam bentuk yang paling hakiki—tenang, ringan, dan penuh makna. Prinsip ini juga selaras dengan nilai karakter luhur yang dikembangkan LDII dalam 6 Thobiat Luhur, yakni jujur, amanah, mujhid-muzhid, rukun, kompak, dan kerja sama yang baik.
Orang yang jujur dan amanah akan hidup lebih tenang. Yang mujhid-muzhid akan terbiasa hidup penuh usaha dan sederhana. Yang rukun dan kompak akan selalu menemukan tempat kembali saat lelah melanda.
Kesadaran untuk bersyukur dan hidup sederhana juga beririsan dengan manajemen waktu. Di era banjir informasi dan tuntutan multitugas seperti saat ini, mengelola waktu bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang menjaga kewarasan. Menyempatkan waktu untuk secangkir teh sore, berbincang ringan, atau membaca buku sejenak bisa menjadi penyeimbang dari kerasnya ritme kehidupan.
Bahagia memang tidak bisa diukur dari harta atau jabatan. Ia hadir ketika kita mampu menerima dan mensyukuri. Ia tumbuh dari kebiasaan untuk melihat ke dalam, bukan hanya ke luar. Ia muncul ketika kita punya cukup waktu untuk menyapa diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Akhirnya, hidup bahagia itu memang sederhana. Dimulai dari mensyukuri yang kecil, menyederhanakan keinginan, menenangkan batin, dan menata waktu. Dari sana, kita belajar bahwa kebahagiaan bukan soal memiliki lebih banyak, tetapi merasa cukup dengan apa yang ada. Dan siapa sangka, secangkir teh sore bisa menjadi pengingat paling jujur tentang makna itu semua.
Penulis:
Thonang Effendi
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII