Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Di suatu masa, seorang putra mahkota menempuh perjalanan panjang menuju seorang bijak yang tinggal jauh di pegunungan. Dengan penuh semangat dan cita, ia berkata, “Aku ingin belajar darimu bagaimana menjadi pemimpin bangsaku.” Sang bijak hanya menjawab ringan, “Masuklah ke dalam hutan, tinggallah di sana selama setahun. Di sanalah engkau akan belajar tentang kepemimpinan.”
Tanpa ragu, sang pangeran mematuhi. Ia menetap di hutan, menyatu dengan alam, dan mendengarkan apa saja yang bisa ia tangkap. Setelah setahun, ia kembali. “Apa yang telah kau pelajari?” tanya sang bijak. “Aku telah belajar mendengarkan,” jawabnya. “Aku mendengar burung berkicau, angin berhembus, air mengalir, serigala melolong di malam hari.” Sang bijak menggeleng. “Kalau hanya itu yang kau dengar, engkau belum paham tentang kepemimpinan. Kembalilah ke hutan, tinggallah setahun lagi.”
Meski bingung, sang putra mahkota taat. Ia kembali menjalani hari-harinya dalam kesunyian hutan. Tahun kedua pun berlalu. Ia kembali kepada sang bijak dan berkata, “Kini aku mendengarkan suara matahari yang memanaskan bumi, bunga-bunga yang mekar, dan rumput yang menyerap air.” Sang bijak tersenyum. “Kini engkau telah belajar mendengarkan. Kini engkau siap memimpin.”
Kepemimpinan sejati bukan dimulai dari kata-kata, tetapi dari kesanggupan mendengarkan. Bukan hanya mendengar dengan telinga, tetapi mendengarkan dengan mata dan hati. Telinga menangkap suara, mata menangkap fakta dan realita melalui bahasa tubuh, tetapi hanya hati yang mampu menangkap makna yang sebenarnya.
وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَٱسْتَمِعُوا۟ لَهُۥ وَأَنصِتُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS Al-A’raf: 204)
Di siang yang terik, Khalifah Umar bin Khattab berjalan mengelilingi Madinah bersama sahabatnya, al-Jarud al-Abdi. Mereka bertemu dengan seorang perempuan tua. Perempuan itu berkata, “ Wahai Umar, aku mengenalmu sejak engkau masih Umair kecil, menggembala kambing di pasar Ukazh. Kini engkau menjadi Amirul Mukminin. Bertakwalah kepada Allah dalam mengurusi rakyatmu. Barang siapa takut kepada Allah, yang jauh akan terasa dekat. Barang siapa takut mati, dia akan hati-hati menjalani hidupnya.”
Umar mendengarkan dengan kepala tertunduk. Ia tidak menyela, tidak membantah, tidak merasa terganggu. Justru al-Jarud berkata, “Wahai perempuan, engkau telah berkata terlalu banyak kepada Amirul Mukminin!”
Umar menoleh dan menegur sahabatnya, “ Tahukah kamu siapa dia? Dia adalah Khaulah, perempuan yang perkataannya didengarkan oleh Allah dari langit ke tujuh.” (lihat QS al-Mujadilah: 1 – Tasfir Ibnu Katsir)
Ia menambahkan, “Demi Allah, jika ia tidak selesai menasihatiku hingga malam hari, aku akan tetap berdiri mendengarkannya. Kecuali waktu salat tiba, maka aku akan salat dan kembali untuk mendengarkannya.”
Beginilah jiwa seorang pemimpin. Hatinya tidak sempit. Nyegoro. Ia tidak menutup diri dari suara yang kecil, yang renta, atau yang sederhana. Umar bin Khattab tahu: Allah pun mau mendengarkan hamba-Nya. Maka Umar lebih berhak untuk mendengar rakyatnya.
Banyak dari kita tidak benar-benar mendengarkan. Kita lebih sibuk bicara, menimpali, menjelaskan, membela, mematahkan. Bahkan ketika mendengar ayat-ayat Allah atau sabda Rasulullah ﷺ, kita masih sibuk mencari celah untuk membela ego. Kita mendengarkan hanya untuk membalas, bukan untuk memahami.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَـٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Ḥajj: 46)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رضي اللهُ عنهُ قَالَ:«أَنْصِفْ أُذُنَيْكَ مِنْ فِيكَ، وَإِنَّمَا جُعِلَ لَكَ أُذْنَانِ وَفَمٌ وَاحِدٌ، لِتَسْمَعَ أَكْثَرَ مِمَّا تَقُولَ.»
Padahal Abu ad-Darda’ berkata: “Perlakukanlah kedua telingamu dengan adil dibandingkan dengan mulutmu. Ketahuilah, engkau diberi dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara.” (Al-Bahr Ar-Ra’iq)
Namun, mendengarkan bukan hanya soal telinga. Ia punya tiga tingkat: Pertama, mendengarkan dengan telinga. Inilah tahap paling dasar. Kita menangkap suara, bahasa, dan getaran luar. Tetapi ini belum cukup untuk memahami. Kedua, mendengar dengan mata. Bahasa tubuh, mimik wajah, gerak-gerik seseorang sering menyampaikan lebih banyak dari kata-kata. Pemimpin yang bijak menangkap tanda-tanda ini dengan jeli. Ketiga, mendengar dengan hati. Inilah tingkat tertinggi. Mendengar bahkan sebelum seseorang berbicara. Peka terhadap isyarat yang halus. Rangkaian bahasa tubuh. Korelasi gerak gerik dan tingkah laku. Menangkap kebutuhan sebelum diminta. Ini bukan sekadar empati, tetapi juga kehadiran penuh dari jiwa. Penyair Kahlil Gibran berkata: “Adalah baik memberi ketika diminta, tetapi jauh lebih baik memberi sebelum diminta.” Inilah bahasa kalbu, komunikasi batin. Komunikasi dari hati ke hati.
Kita sering gagal menangkap hikmah karena hati kita sudah tertutup. Nasehat berlalu begitu saja, mental di permukaan jiwa. Kita sudah apriori kepada yang belum kita kenal. Kita sudah bosan kepada yang sering kita dengar. Kepada anak kecil kita berkata, “Tahu apa kamu?” Kepada orang tua kita bilang, “Sudah biasa.” Padahal Allah sudah memperingatkan:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al-Israa: 36)
Kita harus kembali membuka diri. Belajar menyimak alam. Menyimak manusia. Menyimak kehidupan. Seperti dalam kisah putra mahkota tadi, mendengar bukan hanya dari suara. Ia juga datang dari getaran bunga, dari diamnya rerumputan, dari keheningan malam. Semua itu mengajarkan kepekaan yang tak bisa dipelajari dari buku.
Mendengarkan adalah pelajaran spiritual. Ia menuntut kerendahan hati. Hanya hati yang lapang yang bisa menampung suara dari luar. Hanya jiwa yang bersih yang mampu meresapi hikmah dari dunia. Jika kita ingin jadi pemimpin—baik untuk diri sendiri, keluarga, atau masyarakat—belajarlah mendengarkan. Dengarkan orang lain. Dengarkan istri atau suami kita. Dengarkan anak-anak kita. Dengarkan orang tua kita. Dengarkan bisikan hati yang pelan—yang sering tertindas oleh teriakan ego kita sendiri.
Lebih dari itu, dengarkan suara Ilahi—yang turun melalui wahyu, yang hadir dalam bisikan nurani, yang membisiki jiwa dalam keheningan malam. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, diriwayatkan dari Anas bin Malik:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:”مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ.”
“Barangsiapa menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia mencintaiku. Dan barangsiapa mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga.” (HR. At-Tirmidzi)
Menghidupkan sunnah artinya menyerap nilai-nilai hidup Nabi ﷺ. Dan salah satu yang agung dari beliau adalah kemampuan mendengarkan setiap orang dengan sepenuh hati. Mari kita hidupkan sunnah itu. Mari kita hidupkan mata hati kita. Kurangi kata-kata, perbanyak pendengaran. Bicaralah dengan mata. Sentuhlah dengan hati. Dengarkanlah dengan jiwa. Agar kita mampu menangkap suara-suara yang tak terdengar. Agar kita layak menjadi pemimpin—bagi jiwa kita sendiri, dan bagi sesama.