Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
(Mencari Titik Diam di Tengah Gelombang)
Kita hidup di zaman yang riuh, zaman di mana informasi datang tak diundang, dan sering kali juga tak diinginkan. Tak perlu mencarinya—ia akan menemukan kita. Bahkan mereka yang memilih diam pun bisa tenggelam di dalamnya. Informasi menyeruak seperti banjir: dari mana-mana, ke mana-mana, dan ada di mana-mana. Dan seperti biasa, kita sering baru sadar ketika sudah jadi korban—terluka oleh hoaks , terombang-ambing oleh opini, atau tersesat dalam bias dan ilusi.
Di tengah kebisingan ini, kita butuh alat navigasi, sejenis kompas hati dan kepala yang bisa membantu memilah: mana kabar yang patut didengar, mana yang sebaiknya dibuang jauh-jauh. Sebagai permulaan, mari kita ingat dua panduan suci yang telah ditanamkan jauh sebelum era digital ini lahir.
Pertama, adalah ayat tabayyun, yang tertulis dalam Surat Al-Hujurat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kedua, sabda Rasulullah ﷺ dalam muqadimah Shahih Muslim:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سمع
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda; “Cukuplah seseorang disebut pendusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.”
Ini bukan sekadar nasehat moral, tapi peringatan keras: menyebarkan berita tanpa saring bisa menjadikan kita bagian dari lingkaran kebohongan, meski kita merasa hanya sekadar “bercerita.”
Mungkin tidak salah, jika kita mengucapkan terima kasih kepada tokoh ini. Dalam dunia filsafat, Socrates pernah menawarkan pendekatan yang sangat relevan dengan zaman kita sekarang. Suatu hari, seorang lelaki datang dan berkata, “Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar tentang teman Anda?”
Socrates mengangkat tangan, menahan. “Tunggu dulu,” katanya. “Sebelum engkau berbicara, mari kita saring apa yang akan kamu sampaikan lewat ujian tiga lapis.”
Saringan pertama adalah kebenaran:
“Sudah pastikah kamu bahwa apa yang akan kamu katakan itu benar?”
“Tidak,” jawab si pria. “Saya baru mendengarnya.”
“Jadi kamu sendiri tidak yakin?”
Saringan kedua adalah kebaikan:
“Apakah apa yang kamu sampaikan adalah sesuatu yang baik?”
“Tidak. Justru sebaliknya, hal yang buruk.”
“Kamu ingin menyampaikan hal buruk yang kamu sendiri tak yakin kebenarannya?”
Saringan ketiga adalah kegunaan:
“Apakah apa yang kamu sampaikan akan berguna untukku?”
“Tidak juga.”
“Jika begitu,” kata Socrates, “mengapa harus disampaikan?”
Tiga saringan ini bukan sekadar latihan logika, tetapi juga latihan akhlak: jangan sampaikan sesuatu yang tidak jelas kebenarannya, tidak membawa kebaikan, dan tak ada manfaatnya. Sebuah prinsip sederhana, namun jika diterapkan, bisa menyelamatkan kita dari banyak kerusakan.
Islam sendiri telah memodelkan prinsip ini lewat berbagai kisah dan dalil. Lihat bagaimana Nabi Sulaiman memeriksa kabar yang dibawa oleh burung Hud-Hud, bukan dengan langsung percaya, tapi dengan menyelidiki terlebih dahulu.
وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَآ اَرَى الْهُدْهُدَۖ اَمْ كَانَ مِنَ الْغَاۤىِٕبِيْنَ لَاُعَذِّبَنَّهٗ عَذَابًا شَدِيْدًا اَوْ لَاَا۟ذْبَحَنَّهٗٓ اَوْ لَيَأْتِيَنِّيْ بِسُلْطٰنٍ مُّبِيْنٍ فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيْدٍ فَقَالَ اَحَطْتُّ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَاٍ ۢ بِنَبَاٍ يَّقِيْنٍ اِنِّيْ وَجَدْتُّ امْرَاَةً تَمْلِكُهُمْ وَاُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَّلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
Dia (Sulaiman) memeriksa (pasukan) burung, lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat Hudhud? Ataukah ia termasuk yang tidak hadir? Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat atau kusembelih ia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas.” Tidak lama kemudian (datanglah Hudhud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ membawa suatu berita penting yang meyakinkan (kebenarannya.) Sesungguhnya aku mendapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka (penduduk negeri Saba’). Dia dianugerahi segala sesuatu dan memiliki singgasana yang besar. (QS An-Naml 20-23)
قَالَ سَنَنْظُرُ اَصَدَقْتَ اَمْ كُنْتَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ اِذْهَبْ بِّكِتٰبِيْ هٰذَا فَاَلْقِهْ اِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ عَنْهُمْ فَانْظُرْ مَاذَا يَرْجِعُوْنَ قَالَتْ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَؤُا اِنِّيْٓ اُلْقِيَ اِلَيَّ كِتٰبٌ كَرِيْمٌ
Dia (Sulaiman) berkata, “Kami akan memperhatikan apakah engkau benar atau termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka. Kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan!” Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar, sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surat yang penting.” (QS An-Naml 27 – 29)
Atau kisah Haditsul Ifki, ketika kabar bohong tentang Aisyah RA menyebar tanpa saring, menyebabkan luka besar di tengah keluarga Nabi dan komunitas kaum Muslimin.
اِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِاَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِكُمْ مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَّهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌۚ وَلَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُوْنُ لَنَآ اَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَاۖ سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ يَعِظُكُمُ اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ
(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut; kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun; dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu masalah besar. Mengapa ketika mendengarnya (berita bohong itu), kamu tidak berkata, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau. Ini adalah kebohongan yang besar.” Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya jika kamu orang-orang mukmin. (QS. An-Nur: 15–17).
اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19).
Rasulullah ﷺ sangat hati-hati dalam menyampaikan informasi. Bahkan ketika Mu’adz bin Jabal RA mendengar sabda Nabi tentang betapa siapa pun yang bersaksi “Laa ilaaha illallah” dijanjikan surga, ia ingin segera menyebarkannya agar umat bergembira. Tapi Nabi ﷺ justru mencegah, karena khawatir orang-orang hanya akan bersandar pada itu saja dan meninggalkan usaha dan amal (HR. Muslim). Ilmu dan informasi, dalam pandangan Rasulullah, mesti ditimbang dari efek dan konteks penyampaiannya.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ ﷺ عَلَى حِمَارٍ، فَقَالَ لِي:يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.قَالَ:”حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ، وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَلَّا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.”قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ؟قَالَ: “لَا تُبَشِّرْهُمْ، فَيَتَّكِلُوا.”
Dari Mu’adz bin Jabal RA, ia berkata: Aku pernah dibonceng Nabi ﷺ di atas seekor keledai. Beliau berkata kepadaku: “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya? Dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: “ Hak Allah atas hamba-Nya adalah agar mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan hak hamba atas Allah adalah bahwa Dia tidak akan mengazab siapa pun yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?” Beliau bersabda: “Jangan engkau beritakan kepada mereka, karena dikhawatirkan mereka akan bersandar padanya (dan meninggalkan amal).” (HR Muslim)
Hari ini, siapa saja bisa jadi penyebar informasi. Tapi tak semua layak jadi sumber rujukan. Kita tak hanya dituntut untuk berpikir cepat, tapi juga berpikir dalam. Maka, sebelum jari menekan tombol kirim atau mulut mengucap satu cerita, mari saring dulu dalam tiga lapis: Apakah ini benar? Apakah ini baik? Apakah ini berguna? Kalau tidak bisa menjawab “ya” untuk setidaknya dua dari tiga pertanyaan itu, barangkali lebih bijak kita menyimpannya saja. Tidak semua hal harus diberitakan. Tidak semua kabar harus direspons.
Di zaman banjir informasi, kebijaksanaan bukan tentang tahu segalanya, tapi tahu apa yang harus diabaikan. Dan kadang, yang menyelamatkan kita bukan seberapa banyak yang kita tahu, tapi seberapa banyak yang kita pilih untuk tidak kita teruskan. Semoga dengan modal sederhana ini—dua dalil, satu kisah, dan satu ujian kecil dari Socrates—kita bisa belajar berselancar di atas gelombang informasi dengan aman, selamat, lancar, dan barokah. Karena bisa jadi, di zaman seperti sekarang, diam yang sadar jauh lebih bermakna daripada bicara yang sembarangan.