Jakarta (28/10). Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan tonggak lahirnya kesadaran kebangsaan Indonesia. Ia bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan pernyataan moral bahwa bangsa ini dibangun atas dasar persatuan dan cita-cita bersama, bukan karena kesamaan darah atau etnis.
Momentum ini, menurut Ketua DPP LDII Prof. Singgih Tri Sulistiyo, menjadi pengingat bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dari semangat kaum muda yang berani melampaui sekat-sekat primordial. “Sumpah Pemuda lahir dari pergulatan sosial yang kompleks. Modernisasi kolonial dan pendidikan Barat menciptakan generasi terpelajar bumiputera yang sadar akan ketimpangan dan mulai menuntut keadilan,” jelas Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro itu.
Ia menambahkan, munculnya kelompok pelajar dan santri tercerahkan menjadi fenomena sosial baru yang mengubah tatanan tradisional. “Transportasi modern, urbanisasi, dan media massa membuka ruang publik baru bagi interaksi lintas etnis dan wilayah. Dari situlah muncul imajinasi tentang bangsa yang satu—Indonesia,” ungkapnya.
Kebijakan Politik Etis (1901), lanjut Singgih, meski dimaksudkan untuk memperbaiki nasib pribumi, justru menumbuhkan kesadaran kritis terhadap ketidakadilan kolonial. “Dari rahim kebijakan itulah lahir generasi intelektual yang egaliter, yang melihat bangsa ini sebagai komunitas cita-cita, bukan warisan keturunan,” ujarnya.
Menurutnya, nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda masih sangat relevan hari ini. “Kita hidup di era digital yang rentan polarisasi dan fragmentasi sosial. Semangat 1928 mengajarkan pentingnya solidaritas lintas perbedaan dan nasionalisme yang terbuka, etis, serta berbasis nilai moral,” tegas Prof. Singgih.
Ia mengingatkan, generasi muda masa kini harus melanjutkan perjuangan itu dalam konteks baru—melawan kemiskinan, intoleransi, ketimpangan sosial, dan disinformasi yang mengancam keutuhan bangsa.
Senada, Ketua DPP LDII Bidang Pemuda, Kepemudaan, Olahraga, Seni, dan Budaya (PKOSB) Edwin Sumiroza menekankan bahwa Sumpah Pemuda juga memiliki dimensi spiritual dan etis yang kuat. “Sumpah para pemuda 1928 merupakan janji luhur untuk mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Itu selaras dengan nilai ibadah dalam Islam—beramal demi kemaslahatan umat,” tuturnya.
Edwin mengajak generasi muda meneladani nilai Profesional dan Religius sebagai karakter dasar pemuda bangsa. “Pemuda harus tangguh, berilmu, dan berakhlak. Tantangan terbesar hari ini bukan lagi penjajahan fisik, tetapi arus informasi digital yang bisa mengikis moral dan persatuan jika tidak disikapi bijak,” jelasnya.
Ia mengingatkan agar pemuda mampu memilah informasi dan memanfaatkan teknologi secara produktif. “Gunakan kecanggihan digital untuk memperkuat persatuan, bukan memperlebar perpecahan. Jadilah agen penyebar kebaikan dan pencerahan,” tegas Edwin.
Lebih jauh, ia mengajak pemuda untuk mengelola sumber daya alam dan budaya secara mandiri serta berkelanjutan. “Pemuda Indonesia harus menjadi motor kemandirian nasional. Kita butuh kerja sama lintas elemen bangsa, gotong royong, dan semangat persaudaraan untuk membangun negeri ini,” ujarnya.
Dengan meneladani tekad dan idealisme pemuda 1928, LDII menyerukan agar generasi masa kini menyalakan kembali api persatuan, tanggung jawab moral, dan semangat pengabdian kepada bangsa. “Semangat itu harus hidup di hati setiap pemuda Indonesia, agar kita mampu menjawab tantangan abad ke-21 dengan iman, ilmu, dan etika,” pungkas Edwin.














