PALING UPDATE
Nuansa Persada
No Result
View All Result
Nuansa Persada
No Result
View All Result
Home Opini

Anak-anak Pahlawan Lingkungan Masa Depan

in Opini
379
0
Anak-anak Pahlawan Lingkungan Masa Depan

Ilustrasi Anak-anak.

548
SHARES
2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Sudarsono dan Sri Sartikah*

“Anak-anak bukan sekadar pewaris bumi, mereka adalah aktor utama yang bisa mengubah cara kita merawat alam. Dari tumbler kecil hingga pohon yang mereka tanam, setiap aksi sederhana adalah investasi besar bagi masa depan. Jika cinta lingkungan ditanam sejak dini, generasi cilik hari ini akan tumbuh menjadi pahlawan ekologi yang menjaga dunia esok.’

Pagi yang cerah. Udara masih segar, burung-burung berkicau di pepohonan, dan matahari bersinar menembus pepohonan dengan lembut. Anak-anak berlarian menuju sekolah, tertawa riang sambil membawa tas berisi buku. Pemandangan ini menjadi lukisan indah tentang masa depan yang penuh harapan. Namun, di sisi lain, parit kecil di depan rumah tersumbat plastik, halaman sekolah dipenuhi sampah dan limbah gelas sekali pakai, serta udara terasa pengap oleh polusi. Hal kontras ini membuat kita sadar: taman bermain generasi penerus kita sedang berubah menjadi tapak yang penuh ancaman.

Bumi adalah taman bermain terbesar yang anak-anak miliki. Ia bukan sekadar tempat berpijak, melainkan ruang belajar, ruang tumbuh, dan ruang berimajinasi. Sayangnya, taman ini perlahan kehilangan kesejukannya. Sungai yang dulu jernih kini menghitam, pepohonan yang dulu rindang kini ditebang, dan udara yang dulu segar kini bercampur polusi. Jika kita membiarkan anak-anak tumbuh tanpa rasa cinta pada lingkungan, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengenal bumi sebagai sahabat.

Cinta lingkungan bukan mata pelajaran tambahan, melainkan kebiasaan sehari-hari. Ia hadir dalam cara anak mematikan lampu, membawa tumbler, atau menanam bibit kecil di halaman rumah. Tindakan sederhana ini adalah benih yang kelak tumbuh menjadi karakter peduli lingkungan. Maka, melibatkan anak untuk peduli lingkungan sejak dini bukan sekadar strategi, melainkan investasi. Kita sedang menyiapkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bijak menjaga bumi. Karena pada akhirnya, bumi bukan warisan dari leluhur, melainkan titipan dari anak-anak yang sedang berlari riang di taman bermain hari ini.

Mengapa Perlu Sejak Dini?

Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka tidak membutuhkan ceramah untuk belajar; cukup melihat, lalu meniru. Seorang ayah yang rutin membawa tas kain ke warung akan melahirkan anak yang dengan bangga berkata kepada penjual, “Tidak usah pakai plastik, aku punya tas sendiri.” Seorang ibu yang mematikan lampu setiap kali keluar ruangan akan melahirkan “detektif lampu” kecil yang rajin mengingatkan seluruh keluarga.

Usia dini adalah masa emas pembentukan karakter. Kebiasaan kecil yang ditanamkan di usia 4–8 tahun akan melekat hingga dewasa. Sama seperti benih yang ditanam di tanah subur, nilai cinta lingkungan yang ditanam di hati anak akan tumbuh menjadi pohon besar yang berbuah kebiasaan baik. Anak yang terbiasa menanam pohon di kelas 3 SD bisa tumbuh menjadi remaja yang memimpin klub daur ulang di SMP, lalu menjadi dewasa yang berani memperjuangkan kebijakan ramah lingkungan.

Selain itu, anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka senang bertanya, “Kenapa air harus hemat?” atau “Kenapa sampah harus dipisah dan dikelola dari sumbernya?” Pertanyaan-pertanyaan polos ini adalah pintu masuk untuk menjelaskan konsep besar dengan cara sederhana. Ketika mereka menemukan jawabannya sendiri melalui pengalaman—misalnya melihat ember kompos berubah menjadi tanah subur—rasa kagum itu akan menumbuhkan cinta yang tulus.

Mengajarkan cinta lingkungan sejak dini bukan sekadar strategi pendidikan, melainkan investasi jangka panjang. Karena pada akhirnya, bumi ini bukan warisan dari leluhur, melainkan titipan dari anak-anak yang sedang tumbuh hari ini.

Keluarga sebagai Sekolah Pertama Cinta Lingkungan

Rumah adalah sekolah pertama, dan orang tua adalah guru yang paling berpengaruh. Anak-anak belajar bukan dari teori, melainkan dari kebiasaan sehari-hari yang mereka lihat dan rasakan. Ketika seorang ayah rutin membawa tas kain ke warung, anak akan meniru dengan bangga menolak kantong plastik. Ketika seorang ibu rajin mematikan lampu sebelum tidur, anak akan tumbuh menjadi “detektif lampu” kecil yang mengingatkan seluruh keluarga.

Kebiasaan sederhana bisa menjadi ritual penuh makna. Misalnya, membuat tumbler challenge setiap akhir pekan: siapa yang berhasil tidak menggunakan gelas sekali pakai akan mendapat stiker bintang di papan keluarga. Atau menanam tanaman bersama di halaman rumah, lalu memberi nama pada setiap pot—“Si Hijau,” “Si Kuat,” “Si Ceria.” Anak-anak akan merasa memiliki tanggung jawab, sekaligus kebanggaan saat melihat tanamannya tumbuh.

Cerita sebelum tidur juga bisa menjadi media yang efektif. Alih-alih dongeng tentang pangeran dan putri, orang tua bisa bercerita tentang “Si Air yang lelah melewati sampah” atau “Keluarga Semut yang bingung mencari daun tanpa plastik.” Imajinasi anak akan terhubung dengan pesan sederhana: alam butuh dirawat.

Selain itu, keluarga bisa membuat jurnal kecil berjudul “Kebaikan untuk Bumi.” Setiap hari, anak menuliskan satu aksi ramah lingkungan yang ia lakukan, seperti mengangkat sampah di halaman atau membawa bekal tanpa plastik. Catatan ini bukan hanya dokumentasi, tetapi juga pengingat bahwa cinta lingkungan adalah perjalanan yang konsisten.

Di rumah, cinta lingkungan bukanlah aturan kaku, melainkan kebiasaan yang menetes pelan, membentuk karakter, dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap bumi. Dari meja makan hingga halaman belakang, keluarga adalah dunia kecil tempat anak belajar mencintai bumi yang akan mereka jaga.

Sekolah sebagai Laboratorium Lingkungan

Sekolah adalah ruang kedua setelah rumah, tempat anak-anak belajar bukan hanya membaca dan berhitung, tetapi juga memahami dunia yang mereka tinggali. Di sinilah nilai cinta lingkungan bisa dipraktikkan secara nyata, bukan sekadar teori di buku teks. Bayangkan sebuah kelas yang tidak hanya mengajarkan definisi “daur ulang,” tetapi juga mengajak murid membuat karya seni dari kardus bekas. Anak-anak akan merasakan bahwa menjaga bumi bukan tugas berat, melainkan kegiatan kreatif yang menyenangkan.

Program sederhana bisa menjadi pintu masuk. Lomba kebersihan kelas, misalnya, bukan sekadar soal siapa yang paling rapi, tetapi juga siapa yang punya sudut hijau paling hidup atau tempat daur ulang paling kreatif. Bank sampah mini di sekolah bisa menjadi sarana anak menukar botol plastik dengan poin yang ditukar bibit tanaman. Dengan cara ini, mereka belajar bahwa sampah bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru.

Guru berperan sebagai fasilitator, bukan hanya pengajar. Di kelas sains, anak-anak bisa membuat kompos sederhana dalam botol plastik bekas. Di kelas bahasa, mereka menulis puisi berjudul “Surat kepada Sungai.” Di kelas IPS, mereka membuat peta pohon di lingkungan sekolah. Semua mata pelajaran bisa menjadi jembatan menuju kesadaran lingkungan.

Kolaborasi dengan komunitas sekitar juga penting. Kerja bakti bersama warga, misalnya, memberi anak kesempatan untuk berperan nyata: ada tim sarung tangan, tim dokumentasi, hingga tim penyuluhan kecil. Anak-anak belajar bahwa aksi lingkungan bukan hanya urusan sekolah, tetapi juga urusan masyarakat.

Sekolah yang hidup dengan praktik nyata akan melahirkan generasi yang tidak hanya tahu teori, tetapi juga terbiasa merawat bumi dengan tangan mereka sendiri. Dari ruang kelas sederhana, lahirlah laboratorium kehidupan yang menyiapkan anak-anak menjadi penjaga masa depan. Mewujudkan sekolah dan menghasilkan siswa dengan karakter cinta lingkungan seperti itulah sebetulnya tujuan dari Sekolah Adiwiyata.

Media dan Teknologi sebagai Sahabat Anak

Di era digital, layar menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Televisi, gawai, dan internet bukan lagi sekadar hiburan, melainkan ruang belajar yang bisa diarahkan untuk menumbuhkan cinta lingkungan. Pertanyaannya bukan apakah anak harus menggunakan teknologi, melainkan bagaimana kita menjadikannya sahabat yang mendukung kesadaran ekologis.

Kartun dan film bertema alam bisa menjadi pintu masuk yang efektif. Setelah menonton kisah tentang hutan yang rusak atau hewan yang kehilangan habitat, anak-anak biasanya akan bertanya dengan polos: “Kenapa pohonnya ditebang?” atau “Kenapa ikan-ikan mati?” Pertanyaan sederhana ini membuka ruang diskusi. Orang tua atau guru bisa menjelaskan dengan bahasa ringan, lalu mengajak anak mencari solusi kecil yang bisa mereka lakukan sendiri.

Permainan edukatif juga bisa menjadi jembatan. Bayangkan sebuah game sederhana bernama Eco-hunt, di mana anak diminta mencari sepuluh benda di rumah yang bisa didaur ulang fdalam sepuluh menit. Aktivitas ini bukan hanya menyenangkan, tetapi juga melatih kepekaan mereka terhadap sampah.

Media sosial pun bisa dimanfaatkan secara kreatif. Anak-anak remaja bisa membuat video singkat berjudul “Tips Hemat Air Versi Aku” atau komik strip digital tentang “Pahlawan Parit.” Konten ini bisa dipajang di mading sekolah atau dibagikan di grup keluarga. Dengan begitu, mereka merasa kontribusinya nyata dan diapresiasi.

Untuk menjaga keseimbangan, orang tua bisa menetapkan “jam hijau”: tiga puluh menit menonton atau bermain konten ramah lingkungan, lalu tiga puluh menit praktik nyata di halaman rumah. Layar menjadi jendela yang membuka pandangan, bukan tembok yang membatasi gerak. Dengan pendekatan ini, teknologi tidak lagi dianggap musuh, melainkan sahabat yang membantu anak mengenal, mencintai, dan akhirnya merawat bumi.

Kegiatan Nyata di Luar Rumah

Tidak ada guru yang lebih baik daripada alam itu sendiri. Anak-anak belajar paling cepat ketika mereka berinteraksi langsung dengan dunia di luar rumah. Udara segar, tanah yang lembap, suara burung, atau bahkan bau kompos yang sedang membusuk—semua itu adalah pengalaman nyata yang jauh lebih berkesan daripada sekadar membaca buku atau menonton video.

Mengajak anak jalan pagi di taman kota, misalnya, bisa menjadi kegiatan sederhana namun penuh makna. Mereka bisa diajak menghitung jenis burung yang terlihat, mengamati bentuk daun yang berbeda, atau sekadar merasakan angin di wajah. Piknik keluarga juga bisa diubah menjadi “piknik tanpa sampah”: membawa rantang, kain alas, dan tisu kain, lalu pulang dengan kantong kosong tanpa plastik sekali pakai.

Kegiatan menanam pohon bersama adalah pengalaman yang tak terlupakan. Anak-anak bisa menandai tinggi pohon setiap bulan dengan penggaris karton, sehingga mereka melihat pertumbuhan nyata dari usaha kecil mereka. Membersihkan sungai atau kali di sekitar rumah juga bisa menjadi aksi nyata. Dengan sarung tangan dan sepatu, anak-anak mengumpulkan sampah ringan sambil mengenali jenisnya. Mereka belajar bahwa sampah bukan hanya kotor, tetapi juga punya cerita tentang kebiasaan manusia.

Di rumah, ember kompos kecil bisa menjadi “laboratorium ajaib.” Anak-anak memantau bagaimana sisa sayur berubah menjadi tanah subur. Rasa kagum saat melihat proses ini akan menumbuhkan rasa hormat pada siklus alam.

Setiap kegiatan nyata sebaiknya dirayakan. Foto “sebelum-sesudah” aksi bisa dicetak dan dipajang di rumah atau sekolah sebagai pengingat. Dengan cara ini, anak-anak merasa bangga atas kontribusi kecil mereka. Biarkan tanah menempel di tangan mereka—itu tanda bahwa mereka sedang berkenalan dengan dunia yang kelak akan mereka jaga.

Tantangan dan Hambatan dalam Pembiasaan Anak

Menanamkan cinta lingkungan pada anak sejak dini memang terdengar indah, tetapi kenyataannya tidak selalu mudah. Ada banyak tantangan yang muncul di tengah perjalanan, dan jika tidak dihadapi dengan bijak, semangat anak bisa cepat padam.

Salah satu hambatan terbesar adalah budaya konsumtif yang sudah mengakar. Anak-anak terbiasa dengan jajanan murah yang hampir selalu dibungkus plastik sekali pakai. Mereka melihat teman-temannya membeli minuman dalam gelas plastik berwarna-warni, lalu merasa aneh jika harus membawa tumbler sendiri. Di sinilah peran orang tua dan sekolah penting: bekal kreatif dalam jar kecil, puding berwarna, atau buah potong berbentuk bintang bisa menjadi alternatif yang membuat anak tetap merasa “keren” tanpa harus menghasilkan sampah.

Fasilitas yang terbatas juga menjadi kendala. Tidak semua sekolah memiliki tempat sampah terpilah atau ruang hijau yang memadai. Akibatnya, anak-anak sulit mempraktikkan kebiasaan ramah lingkungan secara konsisten. Solusinya bisa sederhana: membuat kotak daur ulang dari kardus bekas, memberi label warna, dan menjadikannya proyek kelas. Dengan cara ini, keterbatasan justru berubah menjadi kesempatan belajar kreatif.

Inkonsistensi orang dewasa adalah tantangan lain. Anak-anak bingung ketika guru mengajarkan pentingnya hemat plastik, tetapi di rumah orang tua masih membawa kantong sekali pakai dari warung. Untuk mengatasi hal ini, keluarga bisa membuat “kartu komitmen” berisi tiga kebiasaan ramah lingkungan yang dipilih bersama anak. Dengan begitu, pesan di sekolah dan praktik di rumah berjalan seiring.

Selain itu, rasa bosan anak perlu diantisipasi. Kebiasaan yang berulang bisa terasa membosankan jika tidak dikemas menarik. Gamifikasi menjadi solusi: sistem poin, badge, atau misi mingguan bisa membuat anak merasa sedang bermain, bukan sekadar menjalankan kewajiban.

Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa menumbuhkan cinta lingkungan bukan sekadar soal niat, melainkan soal konsistensi dan kreativitas. Kadang yang menghalangi bukan keinginan anak, melainkan kebiasaan lama orang dewasa yang enggan berubah. Jika kita berani mengganti pola pelan-pelan, hambatan akan berubah menjadi peluang untuk tumbuh bersama.

Solusi Kreatif dan Segar

Menumbuhkan cinta lingkungan pada anak tidak harus selalu serius atau penuh aturan. Justru, semakin kreatif dan menyenangkan sebuah kegiatan, semakin besar peluang anak untuk menjadikannya kebiasaan. Solusi yang segar membuat aksi ramah lingkungan terasa seperti permainan, bukan kewajiban.

Gerakan kecil yang konsisten bisa menjadi awal. Misalnya, Senin Tanpa Plastik di rumah: semua anggota keluarga berkomitmen hanya menggunakan tas kain dan bekal tanpa bungkus sekali pakai. Atau Rabu Hijau, di mana anak-anak memakai aksesori berwarna hijau dan membawa satu daun atau bunga untuk mengenal nama tumbuhan. Ada juga Jumat Lampu Pagi, satu jam sarapan tanpa listrik, ditemani cerita tentang alam. Ritual sederhana ini memberi ritme yang menyenangkan sekaligus menanamkan nilai.

Sekolah atau lingkungan bisa membentuk komunitas anak peduli lingkungan, seperti klub “Sahabat Bumi.” Kegiatan mingguan mereka bisa berupa merawat sudut hijau sekolah, membuat poster edukasi, atau berkunjung ke bank sampah lokal. Dengan adanya komunitas, anak merasa bagian dari gerakan yang lebih besar, bukan sekadar individu yang berjuang sendiri.

Aksi lingkungan juga bisa dikemas sebagai permainan. Detektif Sampah, misalnya, mengajak anak mencari kebiasaan boros di rumah, menyusun “rencana penangkapan,” lalu melaporkan hasil seminggu. Anak-anak akan merasa seperti pahlawan kecil yang sedang menyelamatkan bumi.

Apresiasi juga penting. Papan “Pahlawan Minggu Ini” bisa menampilkan foto anak dengan aksi terbaik, lengkap dengan cerita singkat dan stiker bintang. Kolaborasi lintas generasi menambah kekayaan: kakek-nenek berbagi kisah masa kecil tanpa plastik, lalu anak menuliskannya sebagai “resep hidup sederhana.”

Dengan cara ini, cinta lingkungan tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai pengalaman penuh warna. Kita tidak menyuruh anak patuh kepada bumi, kita mengajak mereka jatuh cinta—dan cinta, seperti kita tahu, selalu lebih tahan lama.

Cinta Lingkungan adalah Warisan Paling Berharga

Tangan kecil anak-anak mungkin belum kuat menggenggam sekop besar, tetapi cukup kuat untuk memulai kebiasaan yang menyelamatkan masa depan. Dari langkah sederhana seperti mematikan lampu, membawa tumbler, atau menanam bibit di halaman rumah, mereka sedang menulis cerita baru tentang bumi yang lebih hijau. Setiap kebiasaan kecil adalah batu bata yang menyusun fondasi masa depan.

Bayangkan sepuluh tahun ke depan: pohon yang mereka tanam hari ini tumbuh rindang, memberi keteduhan di jalanan kota. Bayangkan sekolah yang dulu penuh sampah kini menjadi ruang bersih dan segar karena bank sampah mini yang mereka rintis. Bayangkan sungai yang dulu keruh perlahan jernih kembali karena aksi bersih-bersih yang mereka lakukan bersama komunitas. Semua gambaran itu bukan utopia, melainkan hasil nyata dari kebiasaan kecil yang konsisten.

Cinta lingkungan adalah warisan paling murah, paling ringan, dan paling berharga yang bisa kita titipkan. Ia tidak membutuhkan biaya besar, hanya komitmen dan kreativitas. Lebih dari itu, ia adalah warisan yang tidak akan habis dimakan waktu. Anak-anak yang tumbuh dengan cinta lingkungan akan membawa nilai itu ke mana pun mereka pergi, bahkan ketika mereka dewasa dan memimpin masyarakat.

Maka, mari kita pilih satu kebiasaan baru pekan ini. Lakukan bersama anak, rayakan hasilnya, dan ceritakan kembali kepada tetangga atau sekolah. Dari rumah kecil kita, lahir anak-anak berkarakter sebagai generasi penerus yang mencintai bumi. Karena pada akhirnya, bumi bukanlah warisan dari leluhur, melainkan titipan dari anak-anak yang sedang berlari riang di taman bermain hari ini.

Membiasakan dan membina anak peduli lingkungan sejak dini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), terutama SDG 4. Pendidikan berkualitas, SDG 13. Penanganan perubahan iklim, dan SDG 12. Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

*) Sudarsono adalah Koordinator Bidang (Korbid), Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), Sumberdaya Alam, dan Lingkungan Hidup (LISDAL).

Sri Sartikah adalah Anggota, Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga (PPKK), Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII)

Tags: Opini prof Darsonoprof DarsonoSDG12 Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung JawabSDG13 Penanganan Perubahan IklimSDG4 Pendidikan BerkualitasSri sartikah

Related Posts

Ibu Rumah Tangga, Pahlawan Lingkungan yang Tak Pernah Disebut
Opini

Ibu Rumah Tangga, Pahlawan Lingkungan yang Tak Pernah Disebut

by admin
November 14, 2025
0

Oleh Sudarsono dan Sri Sartikah* Koordinator Bidang (Korbid), Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), Sumberdaya Alam, dan Lingkungan Hidup...

Read more
Saatnya Bumi Menanti Pahlawan Hijau Melawan Perubahan Iklim
Opini

Saatnya Bumi Menanti Pahlawan Hijau Melawan Perubahan Iklim

by admin
November 12, 2025
0

Oleh Atus Syahbudin Perubahan iklim sudah terasa hingga ke dalam rumah. Suhu Kota Yogyakarta terasa kian panas, hujan turun tak menentu, dan...

Read more
Dari Sampah Jadi Berkah: Perwujudan Ekonomi Sirkuler di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin
Opini

Dari Sampah Jadi Berkah: Perwujudan Ekonomi Sirkuler di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin

by admin
November 4, 2025
0

Oleh Sudarsono dan Hari Winarsa* Sampah yang biasanya jadi masalah, di Pondok Pesantren Minhaajurroosyidiin justru diolah jadi betkah. Dari sisa limbah dapur...

Read more
Pesantren Zero Waste Sebagai Teladan Lokal dan Kontribusi Global
Opini

Pesantren Zero Waste Sebagai Teladan Lokal dan Kontribusi Global

by admin
November 2, 2025
0

*Oleh Sudarsono dan Hari Winarsa Bayangkan jika pesantren yang seharusnya jadi teladan justru menambah gunungan sampah. Ironis, tapi sekaligus peluang. Dengan gerakan...

Read more
Membuat Anak Menikmati Makan Buah Sejak Dini
Opini

Membuat Anak Menikmati Makan Buah Sejak Dini

by admin
October 30, 2025
0

Sudarsono dan Sri Sartikah* Festival Keluarga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) telah usai, dan satu gerakan nasional telah digulirkan, yaitu Gerakan Makan...

Read more
Opini

Memanfaatkan Mangrove Sebagai Lumbung Pangan

by admin
October 21, 2025
0

Oleh Siham Afatta & Dhira Khurniawan Saputra* Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 108.000 km, menjadikannya negara dengan kawasan pesisir sangat luas. Selain...

Read more

Trending

Anak-anak Pahlawan Lingkungan Masa Depan
Opini

Anak-anak Pahlawan Lingkungan Masa Depan

3 hours ago
Muswil IX LDII Jabar Perkuat Kolaborasi Menuju Jabar Istimewa dan Indonesia Emas 2045
Lintas Daerah

Muswil IX LDII Jabar Perkuat Kolaborasi Menuju Jabar Istimewa dan Indonesia Emas 2045

3 hours ago
Ketua LDII Jabar: Pendidikan Karakter LDII Sejalan dengan Gapura Panca Waluya Jabar
Lintas Daerah

Ketua LDII Jabar: Pendidikan Karakter LDII Sejalan dengan Gapura Panca Waluya Jabar

3 hours ago
LDII Perkuat Standar Jurnalistik untuk Tingkatkan Kepercayaan Publik di Era Digital
Nasional

LDII Perkuat Standar Jurnalistik untuk Tingkatkan Kepercayaan Publik di Era Digital

4 hours ago
rakorbid 2025
Nasional

LDII Susun Strategi Dakwah Kreatif dan Respons Krisis Cepat di Era Percakapan Digital

4 hours ago
Nuansa Persada

Majalah Resmi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Hubungi kami untuk layanan iklan online: marketing@nuansaonline.com

Follow Us

Recent News

Anak-anak Pahlawan Lingkungan Masa Depan

Anak-anak Pahlawan Lingkungan Masa Depan

November 16, 2025
Muswil IX LDII Jabar Perkuat Kolaborasi Menuju Jabar Istimewa dan Indonesia Emas 2045

Muswil IX LDII Jabar Perkuat Kolaborasi Menuju Jabar Istimewa dan Indonesia Emas 2045

November 15, 2025

ARSIP

  • Iklan
  • Privacy & Policy

© 2021 - Designed by GenerusMedia

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Ekonomi Bisnis
  • Energi
  • Fa Aina Tadzhabun
  • Iptek
  • Apa Siapa
  • Digital
  • Hukum
  • Jejak Islam
  • Kesehatan
  • Kisah Teladan
  • Laporan
  • Lentera Hati
  • Liputan Khusus
  • Lintas Daerah
  • Resonansi
  • Olah Raga
  • Opini
  • Pendidikan
  • Remaja
  • Siraman Rohani
  • Khutbah (PDF)
    • Khutbah Jumat Bahasa Arab
    • Idul Fitri Bahasa Arab
    • Idul Fitri (ust. Aceng Karimullah)
    • Idul Fitri (ust. Imam Rusdi)
    • Idul Adha (ust. Aceng Karimullah)
    • Idul Fitri (Kediri 2017)

© 2021 - Designed by GenerusMedia

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In