Kediri (19/11). Ponpes Wali Barokah bersama ratusan warga Kelurahan Burengan mengikuti kegiatan “Mancing Sarungan” di kolam pancing Omah Sawah Burengan, Kota Kediri, Jawa Timur pada Minggu (9/11). Kegiatan tersebut untuk memeriahkan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025.
“Sebanyak dua ton ikan lele ditebar ke kolam. Acara ini bukan untuk kompetisi, melainkan sebagai pesta rakyat. Ini bukan hanya tentang ikan, tapi tentang kebersamaan,” ujar Wali Kota Kediri, Vinanda Prameswati.
Ia menjelaskan kegiatan semacam ini menumbuhkan kerukunan antar masyarakat. “Masyarakat merasakan indahnya guyub rukun, tanpa sekat, tanpa lomba yang kaku, hanya ada kegembiraan yang tulus,” ungkap Wali Kota Kediri.
Sementara itu, Ketua PCNU Kota Kediri, Gus Ab menjelaskan bahwa kegiatan memancing memiliki filosofi sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam. Ia menegaskan untuk mencapai hasil yang diinginkan tidak bisa didapatkan dengan sekali usaha,
“Untuk mencapai hasil atau mendapatkan ikan, dibutuhkan ketelatenan, kesabaran, dan ketenangan hati. Tidak bisa sekali lempar langsung dapat. Sama seperti hidup dan mencari ilmu. Hasil tangkapan ini pun dibagikan dengan prinsip lillahi ta’ala, ikhlas. Siapa yang dapat satu ya bawa satu, dapat 10 ya 10. Semuanya gratis,” imbuhnya.
Senada dengan Gus Ab, Sekretaris Ponpes Wali Barokah, Daud Soleh mengatakan bahwa memancing merupakan cerminan dari kehidupan santri. Ia menerangkan semua itu butuh usaha yang keras, tidak bisa sekali lempar langsung berhasil.
“Santri harus tekun dalam menimba ilmu agar kelak menjadi generasi LDII yang profesional religius. Perayaan HSN 2025 tidak hanya sekadar rutinitas, tetapi momentum untuk merefleksi sejauh mana peran santri dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bagi bangsa dan negara,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan kegiatan tersebut bukan hanya tentang memancing, tetapi tentang kesederhanaan, sportivitas, kebersamaan dan menumbuhkan karakter kesabaran. Menurutnya, sebagian orang menganggap memancing hanya sekedar hobi atau cara mengisi waktu luang.
“Namun, ada juga yang menganggap bahwa memancing adalah sebuah seni kontemplasi yang mendalam, bahkan alat efektif untuk membentuk dan menguji karakter. Memancing adalah tentang belajar mengendalikan diri. Ketika kail sudah dilempar, yang tersisa hanyalah menunggu. Ini memaksa kita untuk tenang, mengelola kecemasan, dan menerima ketidakpastian,” jelasnya.
Ia menjelaskan proses menunggu tersebut melatih karakter seperti ketahanan mental, ketekunan, dan fokus secara otomatis terlatih. Menurutnya, keberhasilan di perairan seringkali berkorelasi dengan kemampuan seseorang mengendalikan emosinya di kehidupan nyata.














