Jakarta (8/12). Kementerian Haji dan Umrah RI memberikan kebijakan khusus berupa penundaan seleksi petugas haji serta relaksasi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), bagi calon jemaah haji di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Musibah banjir besar di tiga wilayah tersebut, menurut Wakil Menteri Haji dan Umrah RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, juga harus menjadi pendorong dakwah ekologis bagi ormas-ormas Islam.
Terkait relaksasi pelunasan biaya haji, menurut Dahnil merupakan respons pemerintah terhadap kondisi darurat yang masih berlangsung, “Pendaftaran petugas itu ditunda dulu, khusus untuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kita ingin memberikan ruang persiapan yang lebih matang untuk daerah-daerah terdampak,” ujar Dahnil.
Pemerintah memastikan adanya keringanan bagi jamaah haji yang kesulitan melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Pelunasan yang semula dijadwalkan berakhir pada 23 Desember 2025, diperpanjang khusus bagi jamaah dari wilayah yang mengalami musibah. Kebijakan ini sebagai bentuk kepedulian, “Sekaligus upaya memastikan tidak ada jamaah yang kehilangan kesempatan berangkat ke Tanah Suci akibat situasi di luar kendali mereka,” jelasnya.
Dahnil menambahkan, dua wilayah yang terdampak banjir merupakan kampung halamannya, Aceh Tamiang dan Tapanuli Tengah. Kedua wilayah tersebut merupakan tempat ia menghabiskan masa sekolah dasar dan menengah pertama, “Aceh Tamiang itu kampung ibu saya, dulu saya bersekolah SD di situ. Sementara Tapanuli Tengah merupakan kampung bapak, saya juga pernah sekolah SMP di sana,” kenang Dahnil.
Sebagai bentuk kepedulian pribadi sekaligus tugas moral, Dahnil bersama relawan Matahari Pagi Indonesia turun langsung untuk menyalurkan bantuan. Menurut Dahnil, musibah ini seharusnya menjadi momentum refleksi nasional terkait perawatan alam.
Ia menilai keterlibatan lembaga-lembaga agama sangat penting dalam membangun kesadaran ekologis masyarakat, “Harus ada koreksi dari kita. Komitmen merawat alam, hutan, sungai. Saya ormas keagamaan Islam seperti LDII, Muhammadiyah, NU bisa membangun kesadaran jamaah,” ujarnya.
Ia menegaskan menjaga lingkungan itu fardhu ‘ain bukan fardhu kifayah, maka semua orang punya tanggung jawab,” tegasnya. Senada dengan Dahnil, Ketua DPP LDII yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Sudarsono menegaskan sudah saatnya dakwah ekologis digencarkan, mengingat 12,7 juta hektare lahan kritis menunggu untuk dipulihkan, “Ini kenyataan pahit. Kondisi ini semakin nyata ketika banjir dan longsor melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,” paparnya.
Ia mengingatkan bila bangsa Indonesia hari ini tidak menanam pepohonan, maka hanya akan menanam krisis yang akan dipanen di kemudian hari, “Pohon adalah mesin kehidupan. Ia menyerap karbon dioksida, menghasilkan oksigen, menjaga siklus air, dan menahan tanah agar tidak longsor. Tanpa pohon, banjir dan kekeringan akan menjadi bencana rutin,” kata Sudarsono yang juga pakar bioteknologi tanaman.
Pohon juga menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, menjaga keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan manusia. Islam mengajarkan menanam pohon merupakan sedekah, yang mendorong LDII melaksanakan program Go Green sejak 2007 dengan menanam jutaan pohon di Indonesia.
“Sementara dalam tradisi Nusantara, pohon bukan sekadar benda hidup, melainkan simbol kehidupan. Pohon beringin misalnya, menjadi lambang kekuatan dan perlindungan. Masyarakat adat di Kalimantan dan Papua memiliki ritual khusus untuk menanam dan menjaga pohon, sebagai bagian dari kosmologi mereka. Menanam pohon berarti menjaga hubungan spiritual dengan alam,” pungkasnya.
Komitmen LDII diwujudkan melalui edukasi di pondok pesantren dan sekolah di bawah naungannya, serta instrumen organisasi di tingkat pusat hingga kelurahan, untuk terus melaksanakan program penyelamatan lingkungan. Salah satu lokasi yang menjadi fokus adalah Bumi Perkemahan Cinta Alam Indonesia Wonosalam, Jombang, Jawa Timur, yang juga berfungsi sebagai pusat edukasi dan pembinaan karakter cinta lingkungan bagi generasi muda.
“Menanam pohon adalah investasi bagi generasi mendatang pohon yang ditanam hari ini akan memberi oksigen, air, dan perlindungan bagi anak cucu.
LDII mendorong masyarakat untuk melihat pohon sebagai penopang kehidupan dan menanam pohon sebagai bagian tindakan ibadah, sehingga Indonesia hijau, sehat, dan berkelanjutan bisa tercapai,” tanggapnya.
LDII juga menekankan pentingnya kolaborasi multi pihak: pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat harus bekerja bersama untuk rehabilitasi lahan kritis. Pemilihan jenis pohon sesuai lokasi, perawatan pasca tanam, serta insentif ekonomi hijau seperti perdagangan karbon dan ekowisata menjadi bagian dari strategi agar penanaman pohon berkelanjutan dan berdampak nyata.
“Menanam pohon adalah tindakan sederhana, tetapi dampaknya luar biasa. Bayangkan, ketika warga bersama-sama menanam pohon di bantaran sungai, beberapa tahun kemudian pohon itu tumbuh besar, akar menahan tanah, banjir berkurang, dan udara lebih sejuk. Pohon kecil yang dulu ditanam berubah menjadi penopang kehidupan,” tutupnya.














