Apa kaitan antara tata moral kebangsaan dengan konsep civilization state (negara peradaban)? Civilization state merupakan konsep negara yang mengidentifikasi dirinya bukan hanya sebagai entitas geopolitik, tetapi juga entitas peradaban (atau setidaknya bercita-cita menjadi entitas peradaban) dan menjaganya serta mewariskannya secara terus-menerus.
Konsep “civilization state” menekankan bahwa kekayaan budaya, sejarah, dan peradaban suatu negara merupakan aset yang sangat penting dan harus dijaga dengan baik. Negara peradaban menekankan identitas budaya dalam politik baik domestik maupun internasional, serta menggunakan basis budaya untuk memperkuat eksistensi negara.
Di dalam negara peradaban inilah moral kebangsaan yang bersumber dari budaya bangsa menjadi faktor substantif dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Hal ini bisa terjadi karena tata moral merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari budaya.
Moral mencakup seperangkat prinsip dan nilai-nilai yang mengatur perilaku individu dan interaksi sosial berdasarkan pada konsep apa yang benar dan salah, baik dan buruk, kejujuran, keadilan, kesetiaan, empati, kebersamaan, dan sebagainya. Budaya, di sisi lain, mencakup seperangkat nilai, norma, keyakinan, tradisi, dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat.
Dalam sejarah Indonesia modern, Pancasila telah diakui baik secara yuridis maupun secara kultural sebagai sumber nilai-nilai moral dan sumber hukum bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Diakui oleh Bung Karno sendiri bahwa Pancasila digali dari budaya Indonesia. Demikian juga sebaliknya Pancasila merupakan elemen penting dalam proses konstruksi kebudayaan Indonesia guna memperkuat Indonesia sebagai nation-state dalam rangka menuju civilization-state.
Keberadaan nation state terbukti lebih kuat dan sustainable jika ada landasan budayanya yang kuat. Tanpa basis kebudayaan yang kuat maka sebuah nation-state akan rapuh dan terancam keberlangsungannya.
Selain cita-cita bangsa, kekuatan sebuah nation-state ditentukan pula oleh basis kebudayaan sebagai sebuah civilization state (Negara peradaban). Tanpa basis “civilization state” maka nation state akan lemah dan selalu terancam dengan persoalan disintegrasi bangsa. Ini terjadi karena konsep negara-bangsa ini membayangkan tentang adanya bangsa yang homogen yang diatur oleh negara yang berdaulat. Ide ini hampir tidak pernah tercapai padahal Indonesia merupakan negara multi-etnik dan bahkan multi-ras, serta multi-kultural.
Negara-bangsa merupakan unit politik yang dikonstruksi secara sosial, bukan pemberian alam. Oleh karena itu pembentukan negara-bangsa yang awalnya bersifat rekayasa sosial-politik harus diperkuat dengan konstruksi dan rekayasa budaya. Dalam hal ini nation-state perlu didukung dengan konstruksi dan penguatan sebagai civilization-state. Jadi negara-bangsa Indonesia merupakan hasil rekayasa sosial politik, dan oleh sebab itu kebudayaannya pun seharusnya direkayasa.
Jika basis budaya (yang dalam hal ini sudah dikristalisasikan dalam Pancasila) dilupakan maka NKRI tak akan punya basis budaya yang kuat, dan tinggal menunggu kehancurannya. Dalam hal ini basis civilization state yang berupa basis kebudayaan tidak hanya berorientasi pada sejarah, tetapi juga pembangunan kebudayaan sebagai landasan untuk memperkuat kohesi kebangsaan dalam nation-state di masa depan.
Sebab awalnya mereka pun juga merupakan ethnic-nation yang berinvasi ke etnik lain, seperti kasus Kerajaan Majapahit. Pancasila sesungguhnya merupakan fondasi peradaban yang sangat penting untuk diwujudkan dalam konteks civilization state sebagai basis Indonesia sebagai nation-state. Jadi paling tidak harus ada upaya untuk sinergi antara civilization-state dan nation-state sehingga nation-state Indonesia punya basis kebudayaan. Jika hal ini bisa dilakukan maka masalah-masalah moral dalam perjalanan bangsa ini tidak akan menjadi persoalan yang laten. Semoga. ®
*Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum.
Penulis adalah
Koordinator Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Hubungan Luar Negeri DPP LDII, Guru besar Universitas Diponegoro, pemerhati masalah integrasi bangsa dan Ketua Presidium Forum Guru Besar Indonesia.