Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Membaca kembali kalam Ilahi, Surat Al-Ahqaf ayat 15, seakan membuka pintu kenangan yang selama ini terlipat rapi di dada. Dan saat pandangan bersandar pada kalimat arba’iina sanah —empat puluh tahun—jiwa ini seperti sedang ditelanjangi oleh waktu. Tak ada lagi ruang untuk bersembunyi dari kenyataan bahwa tubuh ini kini benar-benar telah melewati ambang batas itu: 40 tahun. Usia yang disebut langsung oleh langit. Ada gemetar yang halus, semacam getar batin yang sunyi, tapi dalam. Terlebih, setiap hari, anak saya serius menghafal doa yang terdapat dalam ayat itu. Suaranya yang terbata-bata, penggalan-penggalan hafalannya, justru terdengar seperti bisikan langit yang menohok batin.
Doa itu bukan sekadar hafalan dari mulutnya. Tapi sebuah nasehat lirih yang menampar lembut, menyadarkan saya bahwa usia ini bukan semata angka, melainkan pintu masuk menuju ruang perenungan yang lebih jujur. Tentang apa yang telah dilakukan. Tentang apa yang belum sempat disyukuri. Tentang orang tua yang semakin renta, tentang anak-anak yang sedang tumbuh, dan tentang tanggung jawab yang tak lagi bisa ditunda. Ayat itu tidak hanya mengajarkan syukur dan amal yang saleh, tetapi juga mengajak untuk berbenah di titik tengah usia, saat perjalanan sudah cukup jauh untuk dilihat ke belakang, dan masih cukup waktu untuk meluruskan arah ke depan. Empat puluh tahun. Bukan akhir, tapi juga bukan awal. Ia adalah cermin—dan di cermin itu, saya melihat bukan hanya diri saya, tapi doa yang sedang dipanjatkan oleh anak saya, yang barangkali sedang menjadi jalan bagi saya untuk pulang lebih dalam kepada-Nya.
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًاۗ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًاۗ وَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًاۗ حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, gerakanlah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS Al-Ahqaf:15)
Ayat yang agung itu sejatinya bukan sekadar bacaan untuk dihafal dan dilantunkan. Ia adalah peringatan yang lembut tapi menggetarkan: Sudahkah hati ini benar-benar tergerak untuk bersyukur? Sudahkah kita menyadari, betapa nikmat yang Allah titipkan begitu berlimpah—dalam tubuh yang masih bisa sujud, dalam keluarga yang mengiringi langkah, dalam anak-cucu yang menjadi harapan masa depan? Sudahkah kita benar-benar memilih untuk menyambut anugerah itu dengan rasa syukur yang hidup? Bukan hanya dengan kata, tapi dengan tindakan. Dengan merawat kebaikan, dengan menanam nilai-nilai yang akan tumbuh di hati generasi setelah kita. Agar mereka kelak, bukan hanya mewarisi nama, tapi mewarisi cahaya.
Dan lebih dalam dari itu, sudahkah kita berani menengok ke belakang, mengakui pilihan-pilihan yang keliru? Bukan untuk menyesali, tapi untuk bertobat dengan tulus dan menyerahkan hasilnya kepada Sang Pemilik Waktu. Karena sesungguhnya, inilah tantangan spiritual yang paling sejati: mengubah doa menjadi laku, mengubah laku menjadi cermin syukur. Sebab doa tanpa tindakan hanyalah gema. Tapi doa yang diiringi langkah nyata, itulah yang menjadi hiasan kehidupan, dan akan menuntun jiwa kita dengan tenang, pulang kepada-Nya. Maka, jangan hanya menghafal. Hidupkanlah ayat itu dalam keseharian. Agar setiap langkah menjadi syukur, setiap keputusan menjadi tobat, dan setiap detik usia menjadi persembahan bagi kebaikan yang tak putus hingga akhir zaman.
Maka terbersitlah dalam benak; nyanyian bambu. Sebuah alunan sunyi dari pinggir dusun kampung halaman, yang membawa pulang jiwa pada akar-akar kehidupan yang sederhana, tapi penuh makna. Nyanyian ini bukan sekadar lagu, tapi refleksi tentang bagaimana pencapaian sering dipuja, dan keberhasilan dijadikan ukuran dan perbandingan. Tatkala manusia berlomba-lomba menggapai langit, tak banyak yang ingat akar-akarnya ditanam dalam perih dan luka yang panjang. Dalam kisah ini, serumpun bambu yang hidup rimbun di hutan merasa iri. Iri pada nasib satu di antara mereka yang kini menjadi seruling indah. Seruling itu dipuja. Suara lirihnya dikagumi banyak orang. Tubuhnya dibaringkan di tempat nyaman, dielus tangan-tangan halus para seniman. Ia hadir dalam pesta-pesta, dalam panggung yang penuh cahaya, berkawan dengan tokoh-tokoh ternama.
Mendengar desah iri dari saudara-saudaranya, seruling itu pun menjawab, suaranya lembut namun dalam: “Hai saudara-saudaraku, dahulu aku pun sama seperti kalian, bambu liar di tepi hutan. Tapi untuk menjadi seperti ini, aku harus rela dilukai. Kakiku dipotong dengan parang tajam. Tubuhku dikikis, dihaluskan dengan pisau hingga perih tak tertahankan. Kulitku disayat, diamplas berkali-kali sampai tak lagi terasa seperti diriku. Dan yang paling menyakitkan, dadaku dilubangi. Dengan bor besi panas yang membakar dan mengoyak. Tapi dari lubang itulah suaraku lahir. Dari luka itulah keindahan mengalun.”
Seketika hening. Sunyi, senyap dengan nafas tertahan. Karena kisah itu bukan hanya tentang seruling dan bambu, tapi tentang hidup yang sejati. Bahwa keindahan tidak lahir dari kenyamanan, tapi dari keberanian untuk terluka dan tetap bersuara. Bahwa pencapaian bukan sekadar hasil akhir, melainkan kesediaan untuk melewati proses panjang yang kadang menyakitkan, namun membentuk. Dan dari pinggir dusun, nyanyian bambu itu terus bergema, mengajarkan kepada dunia, bahwa yang paling indah dari manusia bukan pencapaiannya, tapi proses menjadi dirinya.
Perjalanan manusia dalam membangun peradabannya, dari masa ke masa, tak ubahnya seperti kisah sang seruling bambu. Tidak ada di antara mereka yang benar-benar berhasil tanpa terlebih dahulu melewati guratan luka, gelombang ujian, dan jalan berliku yang tak selalu tampak mulus. Tidak ada perjalanan yang benar-benar bercahaya tanpa bayang-bayang gelap yang menyertainya. Tak ada kisah sukses yang hanya ditaburi bunga, tanpa terlebih dahulu menginjak duri.
Lihatlah semangat anak-anak muda di berbagai penjuru dunia. Mereka berlari cepat, mengejar mimpi dengan sekolah, kursus, berorganisasi, berburu beasiswa, dan segudang aktivitas lainnya. Energi mereka memancar, disatukan oleh satu keyakinan sederhana namun kuat: “Jika orang lain bisa, mengapa aku tidak?” Keyakinan seperti ini yang sering menjadi pondasi bagi para motivator untuk membakar semangat jutaan orang. Anthony Robbins, misalnya, lewat bukunya Awakening the Giant Within —membangunkan raksasa yang tertidur di dalam diri. Dari jalan ini muncul tiga premis yang sering didengungkan: Pertama, tidak ada istilah tidak bisa. Kedua, potensi dalam diri tak terbatas. Ketiga, semakin tinggi yang dicapai, semakin baik kehidupan yang didapat.
Namun, di balik semua semangat itu, mereka yang telah menua dengan kebijaksanaan akan tersenyum penuh pengertian. Bukan karena mereka menertawakan semangat muda, tidak. Tapi karena mereka telah belajar satu pelajaran yang hanya diajarkan oleh waktu, bahwa tidak semua hal bisa digapai hanya dengan usaha. Bahwa dalam hidup ini, ada yang bisa diraih, dan ada yang hanya bisa disyukuri. Ada wilayah kehidupan yang bisa digedor dengan kerja keras, keberanian, dan tekad baja. Namun, ada pula wilayah yang hanya dapat dimasuki dengan kerendahan hati, dan penyerahan total kepada misteri Ilahi.
Sebab sebagaimana seruling hanya bisa berbunyi indah setelah dilubangi, manusia pun baru benar-benar bersuara setelah ia belajar bahwa tak semuanya bisa dikendalikan. Bahwa dalam hidup, berdaya dan berserah adalah dua sayap yang harus dikepakkan bersama. Dan dari sinilah, cahaya sejati lahir, bukan dari pencapaian tertinggi, tapi dari kedalaman hati dalam menerima apa pun yang diberikan hidup, sebagai anugerah.
Sampai pada titik pemahaman ini, tentu bukan suatu kebijaksanaan jika kita melarang anak muda untuk berusaha keras. Justru semangat mereka adalah bagian alami dari kehidupan yang tengah mekar, bagai cemara yang tumbuh rindang di lereng gunung, atau kelapa yang tumbuh gagah menantang angin di bibir pantai. Biarkan mereka mengejar, berlari, mencoba, jatuh, dan bangkit. Setiap jiwa memiliki musimnya sendiri. Dan musim muda adalah musim bertumbuh, menggenggam dunia, bahkan bila itu lewat luka dan kegagalan.
Namun, bagi mereka yang telah melewati batas arba’iina sanah — usia empat puluh yang disebut langsung dalam Kalam Ilahi — dan lebih-lebih yang telah menua, barangkali waktunya berbeda. Waktu mereka bukan lagi untuk menaklukkan, tapi untuk menyimak dan menyerap. Bukan untuk berlari, tapi untuk merenung dan menyulam makna. Mereka yang dulu beraroma parfum kemenangan, kini tubuhnya akrab dengan aroma minyak kayu putih yang menenangkan. Bukan berarti kalah, melainkan telah sampai pada babak di mana kehidupan tak lagi tentang pencapaian, tetapi tentang kedalaman.
Mungkin sudah saatnya duduk sejenak, mendengar dengan hening derit halus nyanyian bambu—nyanyian kehidupan yang tidak selalu merdu, tapi jujur. Nyanyian yang pernah disakiti, pernah dibentuk lewat luka, dan kini mampu mengalunkan keindahan yang tidak dibuat-buat. Karena sesungguhnya, usia yang menua bukan tanda redup, melainkan undangan untuk menjadi terang. Bukan untuk menjauh dari dunia, tapi untuk memandang dunia dari mata yang lebih dalam, lebih mengerti, lebih mengasihi. Dan pada akhirnya, hidup yang indah bukan hidup yang selalu menang, tetapi hidup yang memahami apa arti perjalanan.