Oleh Sudarsono dan Siham Afata*
“Banjir bandang yang melanda Aceh dan Sumatera Utara akhir November 2025 menelan ratusan korban jiwa, ribuan rumah hanyut, dan jutaan orang terdampak. Tragedi ini bukan sekadar hujan deras, melainkan akibat hutan gundul, sungai rusak, dan tanah rapuh yang ditinggalkan manusia. Alam yang diperlakukan semena-mena membalas dengan murka. Namun di balik duka, ada peluang besar: menjadikan dakwah Islam sebagai motor perubahan melalui dakwah ekologis, jalan baru yang menyelamatkan manusia sekaligus bumi.”
Islam adalah agama yang selalu hadir dengan relevansi lintas zaman. Ia tidak pernah berhenti hanya sebagai kumpulan ritual, melainkan panduan hidup yang mampu menjawab tantangan setiap era. Jika pada masa awal dakwah Islam lebih banyak menekankan pembinaan akidah, ibadah, dan akhlak, maka di era modern ini dakwah dituntut untuk berani melangkah ke wilayah baru: dakwah ekologi.
Krisis lingkungan global semakin nyata. Perubahan iklim, deforestasi, polusi udara, pencemaran sungai, dan hilangnya biodiversitas bukan lagi sekadar wacana akademis, melainkan realitas sehari-hari. Indonesia, negeri yang dikenal sebagai paru-paru dunia dengan hutan tropisnya, kini menghadapi banjir tahunan, longsor yang merenggut nyawa, serta kabut asap yang menutup langit. Semua ini bukan hanya masalah teknis, melainkan juga masalah moral dan spiritual.
Dalam perspektif Islam, manusia diangkat sebagai khalifah fil-ardh—pemimpin dan penjaga bumi. Amanah ini bukan simbol kosong, melainkan tanggung jawab yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Merusak alam berarti mengkhianati amanah Allah, sementara merawat bumi berarti menunaikan ibadah.
Karena itu, dakwah Islam masa depan harus berani mengambil jalan baru: dakwah ekologis. Dakwah yang tidak hanya mengajak umat untuk shalat, zakat, dan puasa, tetapi juga mengajak mereka menanam pohon, mengurangi plastik, menjaga sungai, dan merawat bumi. Dakwah yang tidak hanya berbicara di mimbar, tetapi juga turun ke tanah, menyentuh akar, dan merasakan denyut kehidupan alam.
Dakwah ekologis adalah seruan segar yang menegaskan: menjaga bumi adalah bagian dari iman, dan merusaknya adalah bentuk kedzaliman. Dakwah ekologis adalah jalan baru dakwah Islam masa depan. Ia menegaskan bahwa menjaga bumi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban iman. Dakwah ekologis adalah seruan untuk memperluas horizon dakwah: dari sajadah ke tanah, dari masjid ke hutan, dari doa ke aksi nyata.
Konsep dan Landasan Dakwah Ekologis Dakwah ekologis adalah dakwah yang menekankan kesadaran lingkungan hidup sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Ia berakar pada teks-teks suci di dalam Al Quran.
Al Quran berulang kali menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan alam. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56). Ayat ini jelas menunjukkan bahwa merusak lingkungan adalah bentuk kedzaliman. Begitu pula QS. Ar-Rum: 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…”
Dengan demikian, dakwah ekologis bukanlah agenda sekuler, melainkan bagian dari iman. Ia menempatkan ulama, dai, dan tokoh agama sebagai agen perubahan yang menyampaikan pesan lingkungan dalam khutbah, kajian, dan aksi nyata. Dakwah ekologis adalah dakwah yang melampaui ritual, menjangkau dimensi ekologis kehidupan.
Urgensi Jalan Baru Dakwah Islam Mengapa dakwah ekologis harus menjadi jalan baru dakwah Islam masa depan? Jawabannya sederhana namun mendesak: bumi sedang sakit, dan umat manusia ikut menanggung akibatnya. Krisis ekologis bukan lagi isu pinggiran, melainkan ancaman nyata yang menyentuh setiap aspek kehidupan.
Indonesia, negeri yang dikenal sebagai paru-paru dunia, kini menghadapi tantangan serius. Data terbaru menunjukkan bahwa meskipun deforestasi menurun sekitar 49.766 hektare pada 2025 dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi kerusakan hutan tetap mengancam daerah aliran sungai dan ekosistem Sumatra. Di sisi lain, kualitas udara di Jabodetabek mencapai 30–55 μg/m³ PM2.5, enam hingga 11 kali lipat ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Angka ini bukan sekadar statistik; ia berarti jutaan orang menghirup udara terpolusi setiap hari, dengan risiko penyakit pernapasan dan penurunan kualitas hidup.
Krisis ini memiliki dampak sosial-ekonomi yang besar. Banjir merugikan miliaran rupiah, kabut asap mengganggu pendidikan, dan pencemaran sungai mengancam sumber air bersih. Semua ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan praktis. Lebih jauh, dari perspektif akhlak, merusak alam adalah bentuk kedzaliman. Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Menebang hutan sembarangan, membuang sampah ke sungai, atau boros energi adalah pengkhianatan terhadap amanah Allah. Dakwah ekologis hadir untuk menegaskan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah, sama pentingnya dengan shalat dan zakat.
Urgensi dakwah ekologis terletak pada kemampuannya menjawab tantangan zaman. Ia bukan sekadar tambahan, melainkan arah baru dakwah Islam yang relevan, solutif, dan visioner. Tanpa dakwah ekologis, umat Islam berisiko kehilangan relevansi di tengah krisis global. Dengan dakwah ekologis, Islam tampil sebagai agama yang mampu menyelamatkan bukan hanya manusia, tetapi juga bumi tempat manusia hidup.
Strategi Jalan Baru Dakwah Ekologis Menjadikan dakwah ekologis sebagai jalan baru dakwah Islam masa depan tidak cukup berhenti pada wacana. Ia harus diwujudkan dalam strategi nyata yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat, dari ruang kelas hingga ruang publik, dari mimbar masjid hingga media sosial. Tanpa strategi yang jelas, dakwah ekologis akan mudah tenggelam dalam retorika.
Pertama, pendidikan Islam hijau. Pesantren, madrasah, dan sekolah Islam harus menjadi laboratorium ekologi. Kurikulum yang selama ini fokus pada fiqh, tafsir, dan akidah dapat diperkaya dengan materi tentang lingkungan. Misalnya, pelajaran thaharah dikaitkan dengan kebersihan sungai, atau tafsir ayat tentang alam dikaitkan dengan isu perubahan iklim. Dengan cara ini, generasi muda tumbuh dengan kesadaran ekologis yang kuat, menjadikan iman dan kepedulian lingkungan sebagai satu kesatuan.
Kedua, masjid ramah lingkungan. Masjid bukan hanya tempat shalat, tetapi juga pusat gerakan hijau. Bayangkan masjid yang mengurangi penggunaan plastik, mengelola sampah dengan baik, menggunakan energi terbarukan, dan menanam pohon di sekitarnya. Masjid dapat menjadi simbol iman sekaligus simbol ekologi, menginspirasi jamaah untuk membawa semangat hijau ke rumah masing-masing.
Ketiga, media dakwah kreatif. Generasi milenial dan Gen Z hidup di dunia digital. Dakwah ekologis harus masuk ke ruang ini dengan konten segar: video pendek tentang gaya hidup hijau, infografis tentang ayat-ayat lingkungan, atau podcast tentang Islam dan ekologi. Media sosial dapat menjadi mimbar baru yang menjangkau jutaan orang dengan pesan sederhana: menjaga bumi adalah ibadah.
Keempat, kolaborasi lintas sektor. Dakwah ekologis tidak bisa berjalan sendiri. Ulama dan dai perlu bekerja sama dengan NGO lingkungan, pemerintah, dan komunitas lokal. Kolaborasi ini dapat menghasilkan program nyata: reboisasi, pengelolaan sampah, kampanye energi terbarukan. Dengan sinergi, dakwah ekologis akan menjadi gerakan sosial masif yang mampu mengubah budaya umat. Strategi-strategi ini menegaskan bahwa dakwah ekologis bukan sekadar tambahan, melainkan arah baru dakwah Islam yang relevan, solutif, dan visioner.
Dakwah Bil-haal LDII sebagai Wujud Dakwah Ekologis Jalan baru dakwah Islam masa depan bukan sekadar teori. LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) telah membuktikan bahwa dakwah ekologis bisa dijalankan secara nyata.
Sejak Rakernas 2012, LDII mendeklarasikan diri sebagai ormas Islam peduli lingkungan. Mereka mengusung Revolusi Hijau Dakwah, mengaitkan ajaran Islam tentang khalifah di bumi dengan gerakan penghijauan. LDII mendorong Gerakan Zero Waste, mengurangi plastik sekali pakai, dan mengedukasi jamaah tentang gaya hidup berkelanjutan.
LDII bahkan bekerja sama dengan tim ahli untuk mengukur cadangan karbon di kawasan hutan, sebagai kontribusi nyata terhadap mitigasi perubahan iklim. Ribuan warga LDII juga terlibat dalam Kerja Bakti Nasional, membersihkan lingkungan, menanam pohon, dan mempererat persatuan.
LDII memberi teladan bahwa dakwah ekologis bukan sekadar wacana, melainkan aksi nyata. Mereka menunjukkan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah, dan dakwah dengan tindakan (dakwah bil-haal) bisa menjadi motor penggerak perubahan ekologis.
Dakwah Ekologis dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Dakwah ekologis sebagai jalan baru dakwah Islam masa depan tidak hanya relevan dengan konteks keagamaan, tetapi juga sejalan dengan agenda global yang dirumuskan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Beberapa SDGs memiliki keterkaitan langsung dengan dakwah ekologis, antara lain SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim menekankan perlunya aksi global untuk mengurangi emisi dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana iklim. Dakwah ekologis dapat menjadi motor penggerak kesadaran umat Islam untuk berpartisipasi aktif dalam mitigasi dan adaptasi iklim.
SDG 15: Kehidupan di Darat menekankan perlindungan ekosistem hutan, tanah, dan keanekaragaman hayati. Islam dengan konsep khalifah fil-ardh memberikan landasan spiritual bahwa menjaga hutan dan satwa bukan sekadar tugas ekologis, melainkan amanah ilahi. Dakwah ekologis dapat menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang alam dengan gerakan pelestarian hutan dan sungai.
Selain itu, SDG 6: Air Bersih dan Sanitasi Layak juga relevan. Islam menekankan kebersihan sebagai bagian dari iman. Dakwah ekologis dapat mengajak umat untuk menjaga sungai dari pencemaran, mengelola limbah rumah tangga, dan memastikan akses air bersih sebagai hak dasar manusia.
Dengan demikian, dakwah ekologis bukan hanya jawaban atas krisis lingkungan lokal, tetapi juga kontribusi umat Islam terhadap agenda global. Ia menjadikan Islam tampil sebagai agama yang tidak hanya rahmatan lil-‘alamin dalam retorika, tetapi juga dalam aksi nyata yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Tantangan Jalan Baru Dakwah Membicarakan dakwah ekologis sebagai jalan baru dakwah Islam masa depan memang terdengar indah, tetapi praktiknya tidak semudah membalik telapak tangan. Ada sejumlah tantangan besar yang harus dihadapi, dan tantangan ini bukan sekadar teknis, melainkan menyentuh ranah budaya, politik, bahkan teologis.
Pertama, kesadaran umat yang masih rendah. Banyak umat Islam memandang isu lingkungan sebagai urusan sekuler, bukan bagian dari agama. Mereka menganggap dakwah cukup berhenti pada shalat, zakat, dan puasa. Padahal, Al-Qur’an jelas menegaskan larangan merusak bumi. Tantangan ini membuat dakwah ekologis sering dianggap “asing” atau bahkan tidak relevan.
Kedua, keterbatasan sumber daya. Gerakan ekologis membutuhkan dana, tenaga, dan teknologi. Tidak semua komunitas memiliki akses untuk menjalankan program penghijauan, pengelolaan sampah, atau energi terbarukan. Akibatnya, dakwah ekologis sering berhenti pada wacana tanpa aksi nyata.
Ketiga, budaya konsumtif yang mengakar. Gaya hidup modern mendorong umat untuk boros energi, boros plastik, dan boros material. Mengubah budaya ini bukan hal mudah. Dakwah ekologis harus berani melawan arus, mengajak umat untuk hidup sederhana, hemat energi, dan ramah lingkungan.
Keempat, tantangan politik dan struktural. Proyek-proyek besar seperti tambang, food estate, atau pembangunan infrastruktur seringkali mengorbankan lingkungan. Dakwah ekologis harus berani bersuara kritis, meski berisiko menghadapi resistensi dari pihak berkuasa.
Semua tantangan ini menunjukkan bahwa jalan baru dakwah Islam bukan jalan mulus. Ia penuh rintangan, tetapi justru di situlah letak keindahannya. Dakwah ekologis menuntut keberanian, konsistensi, dan kreativitas. Ia menguji sejauh mana umat Islam siap menjadikan iman sebagai kekuatan transformasi sosial dan ekologis.
Solusi dan Harapan Masa Depan Jika tantangan dakwah ekologis begitu besar, apakah jalan baru dakwah Islam masa depan akan berhenti sebagai mimpi? Jawabannya: tidak. Justru dari tantangan itulah lahir solusi dan harapan. Pertama, literasi ekologis Islami. Umat Islam perlu dibekali dengan pengetahuan yang mengaitkan ajaran agama dengan isu lingkungan. Buku, modul, dan kajian tentang Islam dan ekologi harus diperbanyak. Dengan literasi yang kuat, umat akan memahami bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah.
Kedua, teladan tokoh agama. Ulama dan dai harus menjadi contoh nyata. Ketika mereka menanam pohon, jamaah akan ikut. Ketika mereka mengurangi plastik, jamaah akan meniru. Teladan lebih kuat daripada kata-kata.
Ketiga, gerakan komunitas masif. Masjid bisa menjadi pusat gerakan hijau. Pesantren bisa menjadi laboratorium ekologi. Ormas Islam seperti LDII sudah menunjukkan jalannya dengan Revolusi Hijau Dakwah, Gerakan Zero Waste, dan Kerja Bakti Nasional. Jika ormas lain mengikuti, dakwah ekologis akan menjadi arus utama.
Keempat, kolaborasi lintas sektor. Dakwah ekologis tidak bisa berjalan sendiri. Ulama harus bekerja sama dengan NGO, pemerintah, dan komunitas lokal.
Penutup Dakwah ekologis adalah panggilan zaman. Ia menegaskan bahwa menjaga bumi bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban spiritual. Dakwah ekologis mengajak umat Islam untuk melihat ibadah secara holistic, termasuk menjaga alam.
Merawat bumi adalah merawat amanah Allah. Jika kita gagal menjaga lingkungan, kita mengkhianati amanah. Sebaliknya, jika kita mampu menjadikan dakwah ekologis sebagai gerakan nyata, Islam akan tampil sebagai agama yang relevan, solutif, dan rahmatan lil-‘alamin.
LDII telah dan akan terus membuktikan bahwa dakwah ekologis bisa dijalankan dengan konsisten dan masif. Kini saatnya umat Islam secara keseluruhan menjadikan dakwah ekologis sebagai arus utama
*) Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc, adalah Koordinator Bidang (Korbid) Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), Sumberdaya Alam, dan Lingkungan Hidup (LISDAL), Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII)
Siham Afata, P.hD, adalah anggota Departemen LISDAL DPP LDII








