Jakarta (10/11). Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 menjadi tonggak keberanian bangsa Indonesia melawan penjajahan dan simbol perjuangan tanpa pamrih. Delapan dekade berselang, semangat heroik arek-arek Surabaya itu tetap relevan untuk dijadikan inspirasi membangun bangsa menuju kemandirian dan kemajuan.
Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso menegaskan, Hari Pahlawan tidak boleh hanya diperingati secara seremonial, tetapi harus menjadi momentum untuk menyalakan kembali semangat perjuangan di tengah tantangan zaman.
“Mempelajari sejarah berarti mempelajari jati diri bangsa. Dari sanalah lahir kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan baru — membangun kemandirian, memperkuat persatuan, dan meneguhkan moral kebangsaan,” ujar KH Chriswanto.
Ia menekankan, perjuangan di era kini tak lagi terjadi di medan perang, melainkan di bidang sosial, ekonomi, dan moral.
“Kini kita berjuang melawan kemiskinan, kebodohan, dan disintegrasi. Pahlawan masa kini adalah mereka yang berkontribusi positif di bidangnya masing-masing, menjaga persatuan, serta memperkuat nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat,” tambahnya.
Menurutnya, semangat kepahlawanan perlu diinternalisasi dalam dunia pendidikan dan pembinaan karakter generasi muda.
“LDII berkomitmen menanamkan semangat nasionalisme, keikhlasan berjuang, dan tanggung jawab sosial melalui kegiatan dakwah, pendidikan karakter, dan pengabdian masyarakat. Kita ingin melahirkan pahlawan masa kini yang berilmu, berakhlak, dan berdedikasi,” tegasnya.
KH Chriswanto juga mengingatkan, kemerdekaan yang dinikmati hari ini lahir dari pengorbanan besar para pahlawan.
“Kini tugas kita menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan kerja keras, kejujuran, toleransi, dan semangat persatuan,” pungkasnya.
Sementara itu, sejarawan sekaligus Ketua DPP LDII Prof. Singgih Tri Sulistiyono menilai Hari Pahlawan bukan sekadar mengenang pertempuran Surabaya, tetapi momentum kebangkitan kesadaran kolektif bangsa akan arti kemerdekaan dan solidaritas nasional.
“Kalau dulu perjuangan dilakukan dengan senjata, kini perjuangan adalah melawan kemalasan berpikir, korupsi nilai, dan hilangnya idealisme,” tutur Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (UNDIP) itu.
Ia menegaskan bahwa semangat 10 November harus diterjemahkan dalam konteks kekinian melalui integritas, tanggung jawab sosial, dan kerja nyata bagi bangsa.
“Generasi kini menghadapi bentuk penjajahan baru: individualisme dan pragmatisme. Karena itu, kita perlu keberanian moral, solidaritas, dan cinta tanah air yang diwujudkan dalam kerja dan integritas,” jelasnya.
Prof. Singgih menambahkan, nilai paling mendasar dari pertempuran Surabaya adalah keberanian moral dan kesadaran kolektif mempertahankan martabat bangsa.
“Keberanian moral masa kini adalah menegakkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Gotong royong juga harus dihidupkan kembali untuk melawan korupsi, perpecahan, dan ketidakadilan sosial,” tegasnya.
Ia menutup dengan ajakan agar semangat Hari Pahlawan diwujudkan dalam tindakan nyata:
“Setiap langkah, sekecil apa pun, harus menjadi bagian dari perjuangan membangun Indonesia yang berkeadaban, berintegritas, dan berkeadilan,” tutupnya.











