Jakarta (9/12). Musibah banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mendorong pemerintah memberikan kebijakan khusus bagi calon jemaah haji dari tiga provinsi tersebut. Selain penundaan seleksi petugas haji, Kementerian Haji dan Umrah RI juga memperpanjang masa pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebagai bentuk keringanan terhadap jamaah yang tengah menghadapi kondisi darurat.
Wakil Menteri Haji dan Umrah RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyebut kebijakan ini diambil untuk memastikan tidak ada jamaah yang kehilangan kesempatan berangkat ke Tanah Suci akibat situasi bencana.
“Pendaftaran petugas ditunda dulu untuk Aceh, Sumut, dan Sumbar. Kami ingin memberi ruang persiapan lebih matang bagi daerah terdampak,” ujarnya.
Dahnil menekankan, pelunasan BPIH yang semula berakhir 23 Desember 2025 kini diperpanjang khusus bagi jamaah dari tiga provinsi tersebut. “Ini bagian dari kepedulian pemerintah sekaligus memastikan jamaah tetap dapat berangkat sesuai rencana,” tambahnya.
Dorongan untuk Dakwah Ekologis
Dalam kesempatan itu, Dahnil menilai banjir besar di Sumatra harus menjadi titik balik bagi bangsa untuk lebih serius menjaga lingkungan. Ia menegaskan perlunya keterlibatan ormas Islam seperti LDII, Muhammadiyah, dan NU dalam menguatkan kesadaran ekologis di tengah masyarakat.
“Komitmen merawat alam adalah fardhu ‘ain. Setiap orang memiliki tanggung jawab,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan kepedulian pribadi—mengungkap bahwa Aceh Tamiang dan Tapanuli Tengah, dua daerah yang terdampak banjir, merupakan kampung halaman orang tuanya sekaligus tempat ia menghabiskan masa sekolah. Bersama relawan Matahari Pagi Indonesia, Dahnil turun langsung menyalurkan bantuan di lokasi bencana.
LDII: 12,7 Juta Hektare Lahan Kritis Butuh Penanganan
Ketua DPP LDII yang juga Guru Besar IPB, Sudarsono, menegaskan bahwa bencana yang berulang menjadi bukti bahwa kerusakan lingkungan di Indonesia sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. “Ada 12,7 juta hektare lahan kritis yang membutuhkan pemulihan segera,” ujarnya.
Menurutnya, penanaman pohon harus dipandang sebagai investasi jangka panjang bagi generasi mendatang.
“Pohon adalah mesin kehidupan: menyerap karbon, memproduksi oksigen, menjaga siklus air, sekaligus menahan tanah dari longsor,” tegasnya.
Sejak 2007, LDII telah menjalankan program Go Green, yang melibatkan jutaan penanaman pohon di berbagai wilayah. Ia juga menyoroti perspektif budaya Nusantara yang menjunjung tinggi nilai spiritual pohon, mulai dari beringin sebagai simbol perlindungan hingga tradisi masyarakat adat yang menjadikan penanaman pohon sebagai ritual sakral.
Pendidikan Lingkungan dan Kolaborasi Lintas Sektor
LDII terus mengintegrasikan pendidikan lingkungan melalui pesantren, sekolah, dan instrumen organisasi hingga tingkat kelurahan. Salah satu lokasi pembinaan adalah Bumi Perkemahan Cinta Alam Indonesia di Wonosalam, Jombang, yang berfungsi sebagai pusat edukasi lingkungan bagi generasi muda.
Sudarsono menegaskan bahwa upaya pemulihan lingkungan memerlukan kerja sama lintas sektor: pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat.
“Mulai dari pemilihan jenis pohon, perawatan pasca tanam, hingga membuka peluang ekonomi hijau seperti perdagangan karbon dan ekowisata,” katanya.
Ia mengajak masyarakat menanam pohon sebagai bagian dari ibadah dan kontribusi nyata bagi masa depan.
“Menanam pohon tampak sederhana, tetapi dampaknya luar biasa. Pohon kecil hari ini akan menjadi penjaga sungai dan penyedia udara bersih bagi anak cucu kita,” tutupnya.










