Sleman (22/10). DPD LDII Kabupaten Sleman menggelar pelatihan pembawa acara (MC) Bahasa Jawa di Masjid Mulya Abadi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Minggu (5/10/2025). Sejak pukul 08.30 WIB, puluhan peserta dari 17 Pimpinan Cabang LDII datang mengenakan busana adat Jawa lengkap, menciptakan suasana khas budaya lokal.
Ketua DPD LDII Sleman, Suwarjo, membuka kegiatan dengan sambutan sekaligus menjelaskan tujuan pelatihan. Ia menyebut kerja sama dengan Paguyuban Pranatacara Yogyakarta (PPY) menjadi langkah konkret LDII dalam menjaga kelestarian bahasa dan budaya Jawa, khususnya di kalangan generasi muda. Pelatihan menghadirkan dua narasumber dari PPY yaitu Bayu Baskoro dan Deni Sutanto.
Sesi pertama disampaikan oleh Bayu Baskoro yang membawakan materi dasar pranatacara Bahasa Jawa. Dalam pemaparannya, Bayu menekankan pentingnya rasa memiliki terhadap budaya sendiri di tengah derasnya arus globalisasi, yang perlahan menggeser nilai-nilai tradisi lokal. Ia mengingatkan, kemampuan berbahasa Jawa tidak sekadar soal berbicara, tetapi juga mencerminkan tata krama, unggah-ungguh, dan jati diri orang Jawa yang sarat nilai sopan santun dan etika sosial.
“Kita sebagai orang Jawa harus melestarikan budaya kita sendiri. Budaya Jawa saat ini sudah sangat jarang ditekuni anak-anak muda, khususnya bahasa Jawa. Padahal, lewat bahasa itu, kita belajar bagaimana menghormati orang lain, memahami tata hubungan sosial, dan menumbuhkan karakter unggah-ungguh yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa,” tutur Bayu di hadapan peserta.
Ia juga menambahkan, pelatihan pranatacara seperti ini menjadi ruang penting untuk menumbuhkan kembali kebanggaan generasi muda terhadap budaya daerah. “Semakin banyak anak muda yang terlibat dalam kegiatan pelestarian bahasa dan tradisi lokal, semakin kuat pula akar budaya yang menjadi penopang identitas bangsa di masa depan,” tambahnya.
Bayu Baskoro mengapresiasi kegiatan tersebut dan berharap pelatihan seperti ini terus dilanjutkan. “Kemampuan berbahasa Jawa harus kita kembangkan dan uri-uri, salah satunya lewat acara ini. Saya sangat mendukung gladi pranatacara seperti ini,” tegasnya.

Sesi kedua diisi oleh Deni Sutanto yang membahas Busana Gagrak Ngayogyakarta. Dalam pemaparannya, Deni menjelaskan bahwa busana tradisional Jawa tidak sekadar pakaian seremonial, melainkan memiliki makna mendalam tentang karakter dan kepribadian orang yang mengenakannya. Ia mengaitkan filosofi ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.
“Artnya, harga diri seseorang tercermin dari tutur katanya, sedangkan kehormatannya tampak dari cara berpakaian,” ujarnya.
Menurut Deni, setiap elemen busana Jawa, mulai dari blangkon, beskap, hingga jarik, menyimpan nilai-nilai moral yang mengajarkan tentang ketertiban, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap sesama. “Busana adat bukan hanya simbol penampilan, tapi juga pengingat bagi kita untuk senantiasa menjaga kesantunan dalam berbicara dan bertindak. Di balik lipatan jarik dan bentuk blangkon, ada pesan filosofi tentang tanggung jawab, keikhlasan, dan kedisiplinan,” ujar Deni di hadapan para peserta.
Ia menambahkan, memahami busana tradisional berarti memahami cara hidup masyarakat Jawa yang menjunjung keseimbangan antara lahir dan batin. Deni berharap generasi muda tidak hanya mengenakan pakaian adat di acara tertentu, tetapi juga memahami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
“Ketika kita memakai busana Jawa dengan penghayatan yang benar, kita sebenarnya sedang mewarisi dan meneruskan semangat leluhur yang menjunjung tinggi adab dan martabat manusia,” tutupnya.