Oleh: Thonang Effendi*
Suatu pagi, suasana kelas tampak hidup. Seorang siswa membantu temannya yang jatuh di halaman sekolah. Siswa lain dengan sigap memanggil guru piket, sementara yang lain membawa kotak P3K dari UKS.
Guru menyambut mereka dengan tenang, memberi apresiasi, lalu menenangkan si anak yang terluka. Setelahnya, mereka duduk melingkar, berbicara tentang empati dan tolong-menolong. Tidak ada ceramah panjang. Tidak ada poster besar bertuliskan sila kedua. Tapi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab hadir nyata.
Dari peristiwa sederhana itu, kita menyaksikan bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa hidup dan mengalir dalam keseharian di sekolah. Bahwa Pancasila bukan sekadar teks sakral yang dibacakan dalam upacara, tetapi harus hadir dalam tindakan nyata, dalam kebiasaan, dan dalam interaksi antarsiswa dan guru.
Memperingati Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni bukan hanya soal mengenang sejarah lahirnya dasar negara. Lebih dari itu, ini menjadi refleksi bagaimana Pancasila diterapkan dalam kehidupan nyata, khususnya di satuan pendidikan sebagai tempat strategis pembentukan karakter generasi penerus bangsa.
Sekolah adalah miniatur kehidupan sosial yang sesungguhnya. Di sinilah anak-anak belajar tentang perbedaan, kerjasama, kejujuran, dan tanggung jawab. Di sinilah nilai-nilai Pancasila seharusnya diinternalisasikan: dari pengalaman, bukan hanya hafalan.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Program Sekolah Aman, Nyaman, dan Menyenangkan (SNAM) menekankan pentingnya lingkungan belajar kondusif dan positif yang membahagiakan. SNAM bertujuan untuk menciptakan sekolah yang aman dari perundungan, kekerasan, dan intimidasi, serta mendorong terciptanya suasana pembelajaran yang menyenangkan dan interaktif, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan fokus.
Ketika siswa merasa aman, nyaman, dan dihargai, nilai-nilai luhur lebih mudah ditanamkan. Ini sejalan dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang menempatkan pendidikan sebagai upaya menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Nilai-nilai Pancasila pun memiliki ruang tumbuh yang subur ketika sekolah mengembangkan pendidikan karakter yang holistik. Di sinilah relevansi 29 Karakter Luhur yang dikembangkan LDII menjadi signifikan. Karakter 6 Thobiat Luhur yaitu jujur, amanah, mujhid-muzhid, rukun, kompak, kerja sama yang baik, dan Tri Sukses Generus yaitu akhlakul karimah, alim-fakih, dan mandiri bukan hanya nilai ideal, tapi sudah dipraktikkan melalui:
- Pembiasaan sehari-hari (berpamitan, tepat waktu masuk sekolah, senyum-salam, menyapa guru dan teman, berbicara yang baik, bersungguh-sungguh dalam belajar, membantu teman, menjaga kebersihan, menjaga kerapian)
- Pembelajaran terintegrasi dalam kurikulum
- Kegiatan ekstrakurikuler yang melatih kepemimpinan dan tanggung jawab sosial
- Keteladanan dari guru dan tenaga pendidik
Penelitian Thomas Lickona (2012) menunjukkan bahwa sekolah yang berhasil menanamkan nilai karakter memiliki iklim yang lebih positif dan hasil akademik yang lebih baik. Sementara itu, data Kemendikbudristek dan OECD juga mendukung bahwa lingkungan belajar yang sehat dan inklusif mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis siswa.
Namun tentu saja, tantangannya tidak kecil. Era digital menghadirkan banjir informasi yang tidak selalu ramah nilai. Individualisme dan ujaran kebencian bisa menyelinap lewat layar gawai. Di sinilah pentingnya peran sekolah dan keluarga sebagai rumah nilai, bukan sekadar tempat menuntut ilmu.
Menghidupkan Pancasila di sekolah berarti menciptakan ekosistem yang menghargai perbedaan, menumbuhkan gotong-royong, dan mengajak anak untuk berpikir kritis sekaligus empatik. Ketika Pancasila hadir dalam ruang kelas, halaman sekolah, hingga ruang guru dan OSIS, maka nilai-nilainya akan tumbuh menjadi kebiasaan, dan dari kebiasaan akan lahir budaya.
Akhirnya, mari jadikan Hari Lahir Pancasila bukan sekadar seremonial, tetapi momentum meneguhkan kembali komitmen kita: menghadirkan sekolah sebagai ruang hidup Pancasila, di mana anak-anak merasa aman, nyaman, bahagia, dan tumbuh sebagai manusia yang profesional religius dan berkarakter luhur.
*Thonang Effendi
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Wakil Ketua DPW LDII DKI Jakarta