Jakarta (15/12) — Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia resmi meluncurkan buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” sekaligus menetapkan 14 Desember sebagai Hari Sejarah Nasional. Peluncuran yang digelar di Plaza Insan Berprestasi, Kementerian Kebudayaan RI, Minggu (14/12), menjadi penanda penting reformulasi penulisan sejarah nasional yang lebih Indonesia-sentris.
Buku tersebut merupakan hasil kerja kolaboratif besar yang melibatkan 123 penulis dari 34 perguruan tinggi dan lembaga, dengan dukungan 20 editor jilid dan tiga editor umum. Secara keseluruhan, karya ini terdiri dari 7.958 halaman yang tersusun dalam 10 jilid utama, ditambah satu jilid prakata dan daftar pustaka.

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menegaskan, negara memiliki peran strategis dalam menjaga memori kolektif bangsa melalui penulisan sejarah. Menurutnya, sejarah tidak boleh dibiarkan ditulis sepihak atau didominasi perspektif luar.
“Negara harus hadir memfasilitasi penulisan sejarah bangsa sendiri. Tanpa itu, kita bisa kehilangan jati diri,” ujar Fadli.
Ia mengakui bahwa penulisan ulang sejarah nasional tidak lepas dari perbedaan pandangan. Namun, polemik tersebut dinilainya sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
“Sejarah bukan alat politik dan tidak boleh dipaksakan menjadi satu suara. Sejarah adalah ruang dialog,” tegasnya.
Fadli juga menekankan pentingnya pendekatan Indonesia-sentris dalam penulisan sejarah nasional. Selama ini, banyak narasi sejarah Indonesia masih dipengaruhi sudut pandang kolonial.
“Bagi penjajah mungkin itu ekspansi, tapi bagi kita itu penjajahan. Cara pandang ini harus diluruskan,” katanya.
Editor Umum Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia, Singgih Tri Sulistiyono, menilai peluncuran buku ini relevan di tengah anggapan bahwa nasionalisme telah usang akibat globalisasi. Menurutnya, justru negara-negara yang menjadi motor globalisasi tetap menjaga kepentingan nasionalnya secara ketat.
“Negara-negara liberal sekalipun sangat protektif terhadap bangsanya. Ini menunjukkan nasionalisme masih sangat penting,” ujarnya.

Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro yang juga Ketua DPP LDII tersebut mengingatkan generasi muda agar tidak larut dalam euforia globalisasi. Keterbukaan terhadap dunia internasional, katanya, harus tetap diimbangi dengan kesadaran kebangsaan dan komitmen terhadap NKRI.
“Globalisasi tidak otomatis menjamin keadilan dan kesejahteraan. Negara tetap menjadi institusi utama yang menjamin itu,” tegas Singgih.
Ia menilai penulisan ulang sejarah nasional merupakan langkah strategis untuk merawat ingatan kolektif bangsa dan memperkuat solidaritas kebangsaan. Sejarah bukan sekadar rekaman masa lalu, melainkan fondasi bersama dalam membangun masa depan.
“Sejarah harus menjadi memori kolektif yang mempersatukan, bukan memecah,” ujarnya.
Selain memiliki nilai filosofis, Singgih menambahkan bahwa sejarah juga memiliki manfaat praktis. Narasi sejarah di bidang hukum, ekonomi, dan pertanahan kolonial dapat menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan kontemporer.
“Sejarah bukan hanya untuk dibaca, tapi juga bisa menjadi dasar kebijakan,” katanya.
Buku ini juga diproyeksikan sebagai bahan ajar bagi generasi muda. Karena itu, pendekatan digital humanities dinilai penting untuk menjawab tantangan literasi sejarah di era digital sekaligus menangkal hoaks dan pseudo history.
Editor jilid buku, Cecep Eka Permana, menjelaskan bahwa penulisan sejarah Indonesia melibatkan disiplin sejarah dan arkeologi, khususnya pada jilid awal yang mengulas akar peradaban Nusantara. Temuan arkeologis menunjukkan peran penting wilayah Indonesia dalam sejarah peradaban dunia.
Sementara itu, Purnawan Basundoro menilai buku ini berhasil menggambarkan dinamika hubungan Indonesia dengan dunia global dari masa ke masa. Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Prof. Amelia juga mengapresiasi pendekatan public history yang dinilai lebih inklusif dan membuka partisipasi publik.
Peluncuran buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global menjadi ikhtiar bersama untuk memperkuat identitas nasional, merawat memori kolektif bangsa, serta menyiapkan generasi muda Indonesia menghadapi tantangan global tanpa kehilangan jati diri keindonesiaan.








