Jakarta (1/7). Rumah adalah sekolah pertama, dan orang tua adalah guru utama bagi anak-anak mereka. Pernyataan itu bukan sekadar ungkapan lama, tetapi fakta yang kembali ditegaskan oleh anggota Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII, Netty Herawaty, dalam sebuah podcast tentang peran keluarga dalam pendidikan anak usia dini di kanal Youtube resmi Kompas.
“Orang tua adalah pendidik pertama dan utama. Jangan sampai rumah hanya jadi tempat istirahat, tapi harus jadi lembaga pendidikan yang aktif,” ujar Netty di Jakarta, pada Minggu 29 Juni 2025.
Menurut Netty, peran keluarga tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan dasar anak seperti makan dan perawatan, tetapi juga menyangkut stimulasi, pendidikan karakter, perlindungan, hingga kesejahteraan psikologis. Ia mengingatkan, keberhasilan anak di masa depan tidak lepas dari seberapa optimal peran orang tua sejak dini.
Sayangnya, kata dia, masih banyak orang tua yang menginginkan anaknya sukses, namun belum memahami tahapan tumbuh kembang si kecil. Bahkan, interaksi sehari-hari kerap terjebak dalam pola yang salah kaprah. “Ada yang niatnya baik, tapi karena tidak paham, akhirnya terjadi malpraktik pendidikan di rumah. Belajar itu bukan cuma di jam formal, tapi berlangsung setiap saat, setiap detik,” tutur Netty yang merupakan Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan dan Umum UPN “Veteran” Jakarta.
Ia menekankan, untuk bisa menjadi pendidik yang efektif, orang tua wajib memahami karakter anak, fase pertumbuhan mereka, serta cara menciptakan lingkungan rumah yang sehat, aman, dan merangsang perkembangan anak. “Kalau orang tua tidak ngerti tahap perkembangan anak, akibatnya bisa fatal. Bisa terjadi keterlambatan yang sulit diperbaiki,” ujarnya.
Salah satu fase paling krusial, menurut Netty, adalah periode emas usia 0 hingga 2 tahun. Di masa ini, tujuh indra anak harus distimulasi secara maksimal. Jika diabaikan, fondasi pembelajaran di masa depan bisa goyah. “Anak itu peniru ulung. Apa yang dia lihat, dia dengar, dia rasakan di rumah, itu yang akan dia bawa sampai besar,” kata Netty.
Tak kalah penting, lanjut dia, orang tua harus rajin memantau pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan seperti berat dan tinggi badan bisa dilacak lewat KMS, tetapi aspek perkembangan lebih kompleks. Ada enam area yang wajib diperhatikan: nilai agama dan moral, keterampilan fisik, kognitif, kecerdasan sosial-emosional, bahasa, dan seni. “Kalau ada keterlambatan yang terlewat di periode kritis, itu bisa memengaruhi masa depannya. Makanya harus dicatat dan dievaluasi secara rutin,” ujar Netty.
Ia juga mengkritik praktik pendidikan yang terlalu menekankan aspek fisik atau akademik semata, sementara aspek berpikir kritis, kreativitas, dan kecerdasan emosional kerap diabaikan. Padahal, menurut Netty, stimulasi optimal harus seimbang dan menyeluruh.
“Pendidikan efektif itu bukan hanya soal teori atau hafalan. Harus dikemas lewat bermain yang terarah, biar anak belajar sambil mengalami dan mempraktikkan,” jelasnya.
Di akhir paparannya, Netty mengingatkan pentingnya sinergi antara rumah dan lembaga pendidikan formal. Ia mendorong agar sekolah tidak berjalan sendiri, melainkan melibatkan orang tua dengan membagikan kurikulum dan metode pembelajaran. Dengan begitu, stimulasi yang diberikan kepada anak bisa berkesinambungan, memperkuat koneksi saraf di otak, dan membangun pondasi kecerdasan jangka panjang.
“Anak belajar setiap detik, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Jadi, kolaborasi antara rumah dan sekolah itu mutlak, supaya tidak ada kesenjangan dalam proses belajar,” pungkas Netty.