Jakarta (16/12) — Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII) menggelar Sarasehan Kebangsaan bertema “Nasionalisme Berkeadaban: Merawat Pancasila, Meneguhkan Islam Wasathiyah, Membangun Indonesia Berkeadilan”. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Road to Munas X LDII 2026 dan disiarkan melalui 200 studio mini di seluruh Indonesia.
Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso menyampaikan bahwa sarasehan tersebut menjadi forum strategis untuk menggali nilai-nilai kebangsaan yang akan dirumuskan sebagai program prioritas LDII ke depan. Hasil diskusi sarasehan ini, menurutnya, akan menjadi bahan penyusunan program kerja pada Munas X LDII.
“Penerapan Pancasila harus kontekstual dan hadir dalam sikap sosial kemasyarakatan. Persatuan Indonesia harus menjadi bingkai utama dalam setiap gerak dan program,” ujar KH Chriswanto dalam sambutannya.
Ia menegaskan bahwa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), perbedaan bukan alasan untuk terpecah, melainkan dasar untuk saling memahami dan memperkuat persatuan.
Sarasehan Kebangsaan tersebut menghadirkan Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon sebagai pembicara kunci. Fadli berharap forum yang digelar LDII dapat menjadi momentum memperkuat kolaborasi antara pemerintah, ulama, dan masyarakat dalam membangun bangsa serta mencetak generasi yang berkarakter, beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
“Umat Islam memiliki peran strategis dalam membangun kebudayaan. Kebudayaan bukan sekadar seni dan tradisi, tetapi juga menyangkut nilai dan karakter yang membentuk peradaban,” kata Fadli Zon.
Menurutnya, ketika umat Islam mampu menjadi teladan dalam akhlak dan adab, maka umat Islam turut berkontribusi membangun peradaban yang mencerahkan. Ia juga menekankan bahwa keberagaman merupakan keniscayaan yang harus dikelola dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika.
Di tengah tantangan zaman seperti perpecahan sosial, ketimpangan ekonomi, dan perubahan iklim, Fadli Zon menilai Pancasila harus kembali dihadirkan secara utuh dalam kehidupan masyarakat. “Pancasila bukan sekadar konsensus politik, melainkan panduan moral. Merawat Pancasila berarti menghidupkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan berbangsa,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua DPP LDII sekaligus Ketua Panitia Sarasehan Kebangsaan Singgih Tri Sulistiyono menekankan pentingnya Pancasila sebagai etika publik dan titik temu kebangsaan. Ia menilai, di tengah derasnya arus informasi digital dan menguatnya politik identitas, nilai-nilai Pancasila perlu diinternalisasi secara berkelanjutan.
“Pengamalan Pancasila harus dimulai dari komunitas secara bottom up. Jika komunitas mampu mengamalkannya, maka para pemangku kepentingan akan belajar dari praktik tersebut,” ujar Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro itu.
Dalam sesi diskusi, cendekiawan Yudi Latif menegaskan bahwa Pancasila harus diimplementasikan secara sungguh-sungguh untuk kemaslahatan umat. Menurutnya, keunikan Indonesia terletak pada mayoritas penduduk Muslim yang mampu hidup berdampingan tanpa membentuk negara agama, sementara Pancasila tetap bersinergi dengan nilai-nilai keagamaan.
Yudi Latif juga menyoroti tantangan Indonesia dalam mengoptimalkan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ia menilai penerapan Pancasila kerap bersifat formalitas sehingga belum mampu mengelola keberagaman dan potensi bangsa secara maksimal.
“Pancasila jika diterapkan secara benar, menjadi padanan yang tepat untuk mengoptimalkan potensi dan keragaman Indonesia yang luar biasa,” pungkasnya.
Sarasehan Kebangsaan LDII turut menghadirkan sejumlah tokoh nasional dan pimpinan ormas, antara lain Ketua Tanfidziyah PBNU KH Ahmad Fahrur Rozi, Wakil Ketua MPKS PP Muhammadiyah Faozan Amar, Sekretaris LPHU PP Muhammadiyah Marjuki Al Jawiy, serta perwakilan BPIP dan Lemhannas.














