PALING UPDATE
Nuansa Persada
No Result
View All Result
Nuansa Persada
No Result
View All Result
Home Nasehat

L a p a r

in Nasehat
379
0
L a p a r

Ilustrasi: Pinterest.

548
SHARES
2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan

Ada rasa takjub sekaligus getir ketika menyadari perjalanan waktu. Rasanya baru kemarin saya berdiri di pelaminan, berjanji pada diri dan pasangan untuk membangun rumah tangga dengan segenap cinta dan kesetiaan. Namun ternyata, sudah tiga puluh satu tahun berlalu. Waktu melaju tanpa kompromi, dan tubuh pun meninggalkan jejaknya. Bobot badan yang dulu 63 kilogram saat menikah, kini bertambah menjadi 73 kilogram. Sepuluh kilogram tambahan yang terasa cukup signifikan.

Jika ditimbang menurut hitungan BMI (Body Mass Index), posisi tubuh ini sudah mulai menyeberang ke kategori overweight. Walaupun istri saya dengan penuh penghiburan selalu berkata, “Masih kurus kok, masih pantas kalau mau gemuk lagi.” Namun, di hati kecil saya menyimpan obsesi: ingin kembali pada bobot ideal, setidaknya 70 kilogram, bahkan kurang kalau memungkinkan.

Secara keseluruhan, dengan banyak mengucapkan puji syukur alhamdulillah, kesehatan masih tergolong baik. Tidak ada keluhan berarti, hanya kolesterol yang perlu dikendalikan. Selalu dinamis, naik – turun. Walau banyak naiknya sepertinya. Pola makan, tentu saja, mesti lebih diperhatikan, diiringi olah raga yang cukup. Namun yang selalu mengusik hati adalah pertanyaan ini: mengapa di usia kepala lima, saya masih sering dijajah oleh nafsu makan yang tak kunjung jinak? Nafsu yang meledak ketika melihat sajian, apalagi jika gratis, seakan tiada batas. Hajar…! Dan rumus kala mahasiwa masih berakar; makanan itu hanya ada dua jenis; enak dan enak sekali. Jadilah seperti ini.

Dalam refleksi panjang dan mendalam, saya merasa dipermalukan oleh tubuh sendiri. Perut yang terus membuncit, nafsu makan yang sulit dibatasi, dan tubuh yang makin melar-melebar, dengan penyusutan otot (kendor) yang terus terjadi adalah pengingat yang tak menyenangkan. Di satu sisi, semua yang saya makan insya Allah halal adanya. Tetapi di sisi lain, saya sadar bahwa halal bukan berarti tanpa batas. Allah jelas-jelas dengan tegas mengingatkan dengan berfirman:

وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَࣖ

“Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raaf: 31)

Walau tidak ada batas yang jelas dan pasti dalam hal ini, tetapi saya membatasi dengan pasti bahwa kelebihan asupan, salah satu yang membuat kegemukan terjadi. Nabi Muhammad ﷺ bahkan telah memberi panduan sederhana nan bersahaja, dengan makna sempurna di dalamnya.

عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ:«مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، حَسْبُ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ»

Dari Miqdam bin Ma’dikarib, dia berkata; aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: _“Tiada memenuhi anak Adam suatu tempat yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus melakukannya, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernafas.”_ (HR. At-Tirmidzi)

Namun kenyataannya, sering kali saya melampaui batas itu. Sudah bersendawa, tanda udara di perut perlu ruang lebih lega, tapi tangan masih saja menyuapkan makanan dan mengalirkan minuman. Hasilnya jelas: rasa penuh yang membuat gerak melambat, berlanjut timbul rasa malas dan kadang disertai sembelit karena salah perlakuannya. Kurang minum, kelebihan bahan makanan, ruang udara terhimpit.

وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ إِبْلِيسَ تَمَثَّلَ لِيَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّا عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، وَمَعَهُ شِبَاكٌ وَعَلَى رَأْسِهِ مِخَالَبُ.فَقَالَ لَهُ يَحْيَى: يَا عَدُوَّ اللَّهِ، مَا هَذَا؟ قَالَ: هَذِهِ الشَّهَوَاتُ أَصِيدُ بِهَا بَنِي آدَمَ.قَالَ: فَهَلْ يَقَعُ فِي شَيْءٍ مِنْهَا؟ قَالَ: لَا، غَيْرَ أَنِّي أَكَلْتَ لَيْلَةً أَكْلَةً فَثَقُلْتَ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ، فَنَحْنُ نَفْرَحُ مِنَ الْمُؤْمِنِ بِمِثْلِ هَذَا.فَقَالَ يَحْيَى: إِذَنْ لَا آكُلُ حَتَّى أَشْبَعَ أَبَدًا.

Ada sebuah kisah dari Nabi Yahya AS. Beliau berjumpa dengan iblis yang membawa alat pancing. “Untuk apa alat pancing itu?” tanya Yahya. Iblis menjawab, “Inilah syahwat yang aku gunakan untuk mengail anak Adam.” Yahya bertanya lagi, “Adakah padaku yang bisa kau kail?” Iblis menjawab, “Tidak ada, hanya saja pada suatu malam engkau makan agak kenyang, hingga kami bisa menggaetmu, membuat berat untuk shalat.” Mendengar itu, Yahya AS bertekad, “Jika begitu, aku tidak akan pernah kekenyangan lagi seumur hidupku.” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis)

Kisah ini menyentak. Betapa ternyata sekadar kenyang bisa menjadi celah yang memudahkan iblis menyusupkan godaannya. Kenyang membuat tubuh berat bergerak, malas beribadah, bahkan terpuruk dalam bangun malam. Tidak kekenyangan saja sering lalai, apalagi kekenyangan? Itu sudah cukup menjadi alasan mengapa para salaf lebih memilih lapar daripada kenyang. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengutip ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA:

وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا شَبِعْتُ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، لِأَنِّي أُحِبُّ أَنْ أَجِدَ جَوْعًا، وَأُحِبُّ أَنْ أَجِدَ عَطَشًا.

“Sejak aku memeluk Islam, aku tidak pernah mengenyangkan perutku karena ingin merasakan manisnya ibadah. Dan aku tidak pernah kenyang minum, karena sangat rinduku kepada Ilahi.”

Ucapan ini menggambarkan bahwa lapar bukanlah sekadar kondisi fisik, tetapi sebuah strategi ruhani untuk menjaga kejernihan hati. Mengoptimalkan potensi diri dalam beribadah kepada Ilahi.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ الْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ وَالْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ ‏”‏ ‏.‏

Dari Ibnu Umar dari Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda: “Orang kafir makan dalam tujuh perut, sedangkan orang mukmin makan dalam satu perut.” (HR. Muslim No. 3839)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَجُلاً، كَانَ يَأْكُلُ أَكْلاً كَثِيرًا، فَأَسْلَمَ فَكَانَ يَأْكُلُ أَكْلاً قَلِيلاً، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏ “‏ إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ، وَالْكَافِرَ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ ‏”

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah RA, disebutkan ada seorang laki-laki yang dulu banyak makan, lalu setelah masuk Islam, makannya menjadi sedikit. Ketika hal ini diceritakan kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: “Seorang mukmin makan untuk satu perut, sedangkan orang kafir makan untuk tujuh perut.” (HR. Bukhari)

Hadis ini bukan semata-mata perbandingan fisik, tetapi simbolik. Iman membuat seseorang mampu mengendalikan syahwatnya, termasuk urusan perut. Sebaliknya, kekafiran menjadikan perut tak pernah puas, selalu meminta lebih dan lebih.

Pada akhirnya, masalah makan bukan sekadar urusan kesehatan tubuh, tetapi juga urusan jiwa. Nafsu makan yang tak terkendali adalah gambaran dari nafsu diri yang tak terdidik. Kekenyangan membuat hati tumpul, otak tertidur, dan tubuh malas bergerak. Dari sanalah lahir penyakit lahir maupun batin. Maka, mengendalikan makan adalah bagian dari gerakan menyayangi diri. Menyuguhkan kepada tubuh hanya apa yang ia butuhkan, bukan semua yang diinginkan. Memberi hak tubuh secukupnya, agar ia bisa berfungsi dengan baik, bukan memberatkan.

Hari-hari ini, tekad itu semakin menguat: belajar mencintai diri sendiri dengan sederhana. Tidak lagi menyerahkan kendali pada perut, tetapi mengembalikannya pada akal dan iman. Makan secukupnya, minum seperlunya, dan memberi ruang napas yang lega bagi tubuh. Bukan berarti lapar terus-menerus, bukan pula menyiksa diri. Tetapi melatih keseimbangan. Sebab di balik tubuh yang sehat, ada kesempatan untuk beribadah dengan sempurna. Di balik rasa lapar, ada manisnya doa yang khusyuk. Dan di balik sederhana dalam makan, ada ketenangan jiwa yang tak bisa dibeli dengan kemewahan hidangan.

Kini, setiap suapan adalah latihan. Setiap sendawa adalah peringatan. Dan setiap rasa kenyang adalah pengingat agar berhenti sebelum terlambat. Karena sejatinya, hidup bukan untuk menuruti perut, melainkan untuk memuliakan diri, agar bisa kembali kepada-Nya dalam keadaan ringan, sehat, dan penuh amal.

Tags: LaparNasehat

Related Posts

Pengasuh Ponpes Gadingmangu Tekankan Pentingnya Agama Sebagai Bekal Generasi Muda Hadapi Tantangan Zaman
Nasehat

Pengasuh Ponpes Gadingmangu Tekankan Pentingnya Agama Sebagai Bekal Generasi Muda Hadapi Tantangan Zaman

by admin
September 10, 2025
0

Jakarta (10/9). Pengasuh Pondok Pesantren Gadingmangu, Perak, Jombang, Ust. H. Nanang Rdwan, menekankan pentingnya ilmu agama di tengah derasnya perubahan zaman. Ia...

Read more
Warisan Cinta
Nasehat

Warisan Cinta

by admin
September 8, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan (Dari Kita, Untuk Generasi Selanjutnya) Ada...

Read more
Seni Mendengarkan
Nasehat

Seni Mendengarkan

by admin
September 1, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan Di suatu masa, seorang putra mahkota...

Read more
T a k j u b
Nasehat

T a k j u b

by admin
August 26, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan Sambil melepas penat, beberapa waktu lalu,...

Read more
Jualan Terbaik
Nasehat

Jualan Terbaik

by admin
August 18, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan Sudah lama saya tidak menyempatkan diri...

Read more
Kita dan Remote Control
Nasehat

Kita dan Remote Control

by admin
August 11, 2025
0

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan Di zaman serba praktis ini, hampir...

Read more

Trending

Hadiri Musda MUI, LDII Luwu Utara Siap Bersinergi dalam Pembinaan Umat
Lintas Daerah

Hadiri Musda MUI, LDII Luwu Utara Siap Bersinergi dalam Pembinaan Umat

1 hour ago
Perkuat Kolaborasi Antarlembaga, LDII, KUA, dan DMI Silaturahim ke Polsek Tamalate
Lintas Daerah

Perkuat Kolaborasi Antarlembaga, LDII, KUA, dan DMI Silaturahim ke Polsek Tamalate

1 hour ago
LDII Apresiasi Doa Bersama Forkopimda Sukoharjo untuk Kedamaian Daerah
Lintas Daerah

LDII Apresiasi Doa Bersama Forkopimda Sukoharjo untuk Kedamaian Daerah

1 hour ago
LDII Klareyan Bangun Masjid, Diharapkan Jadi Pusat Ibadah dan Pembinaan Generasi Muda
Lintas Daerah

LDII Klareyan Bangun Masjid, Diharapkan Jadi Pusat Ibadah dan Pembinaan Generasi Muda

1 hour ago
Pramuka SPN DIY Bahas Apel Besar dan Persiapan Hari Santri
Lintas Daerah

Pramuka SPN DIY Bahas Apel Besar dan Persiapan Hari Santri

2 hours ago
Nuansa Persada

Majalah Resmi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Hubungi kami untuk layanan iklan online: marketing@nuansaonline.com

Follow Us

Recent News

Hadiri Musda MUI, LDII Luwu Utara Siap Bersinergi dalam Pembinaan Umat

Hadiri Musda MUI, LDII Luwu Utara Siap Bersinergi dalam Pembinaan Umat

September 15, 2025
Perkuat Kolaborasi Antarlembaga, LDII, KUA, dan DMI Silaturahim ke Polsek Tamalate

Perkuat Kolaborasi Antarlembaga, LDII, KUA, dan DMI Silaturahim ke Polsek Tamalate

September 15, 2025

ARSIP

  • Iklan
  • Privacy & Policy

© 2021 - Designed by LataniyaWeb

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Ekonomi Bisnis
  • Energi
  • Fa Aina Tadzhabun
  • Iptek
  • Apa Siapa
  • Digital
  • Hukum
  • Jejak Islam
  • Kesehatan
  • Kisah Teladan
  • Laporan
  • Lentera Hati
  • Liputan Khusus
  • Lintas Daerah
  • Resonansi
  • Olah Raga
  • Opini
  • Pendidikan
  • Remaja
  • Siraman Rohani
  • Khutbah (PDF)
    • Khutbah Jumat Bahasa Arab
    • Idul Fitri Bahasa Arab
    • Idul Fitri (ust. Aceng Karimullah)
    • Idul Fitri (ust. Imam Rusdi)
    • Idul Adha (ust. Aceng Karimullah)
    • Idul Fitri (Kediri 2017)

© 2021 - Designed by LataniyaWeb

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In