Langkah kaki Novrizal Eka Fadillah bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan ikhtiar untuk membangunkan nurani bangsa. Ia menjadikan tubuhnya jembatan pesan—bahwa kemerdekaan bukan hanya dirayakan, tapi juga diperjuangkan kembali lewat kepedulian kepada sesama dan alam.
Jejak kaki itu menyimpan cerita. Bukan hanya tentang jarak, tetapi tentang niat. Tentang harapan yang dikirimkan lewat langkah-langkah sunyi seorang pemuda bernama Novrizal Eka Fadillah. Ia menyuarakan sesuatu yang kini kerap luput dari perhatian—tentang kemanusiaan, tentang bumi yang lelah, dan tentang arti kemerdekaan yang tak sebatas angka.
Dari sudut tenang Cileungsi, sebuah kecamatan di timur laut Kabupaten Bogor, Novrizal memulai langkahnya. Tak ada seremoni atau kamera, hanya pagi yang bisu dan udara yang masih menusuk. Dari jalanan kecil itu, ia menyulam perjalanan panjang menuju Gedung Sate, yang menjadi simbol pemerintahan Jawa barat.
Setiap pagi, ia memulai perjalanannya saat dunia masih memeluk dingin malam terakhir. Dari kota ke kota, ia menapaki berbagai lanskap: jalur beton di perbatasan, jalan-jalan kecil yang dipenuhi truk, hingga pedesaan sunyi berselimut kabut. Ia menyeberangi jembatan tua, melewati pasar yang baru dibuka, dan menyusuri gang-gang sempit tempat anak-anak bersiap berangkat sekolah. Wajah-wajah asing, suara klakson, aroma tanah basah, semua menjadi saksi diam dari niatnya yang terus menyala.
Kadang ia berhenti di warung kopi, menyapa tukang becak, atau menenangkan betis yang nyeri. Di pundaknya menggantung tas kecil berisi logistik seadanya: air, baju ganti, perlengkapan P3K, dan perlengkapan salat. Di tangannya, sehelai bendera Merah Putih yang diikat pada sebatang bambu ia bawa sepanjang jalan—simbol sunyi dari tekad, cinta dan perjuangan.
Selama sembilan hari, ia melangkah sendirian. Siang yang terik, malam yang menggigil, hujan deras, jembatan sempit, tanjakan berbatu—semuanya ia hadapi. Sepatu mulai aus, kaus kaki basah, lutut nyeri, tapi semangat tak pernah padam. Setiap langkah adalah doa. Setiap peluh adalah syukur. Setiap kilometer adalah pesan: mencintai negeri tak cukup dengan kata.
Longmarch ini bagi Novrizal bukan semata uji fisik, tapi perjalanan batin. Sebuah aksi nyata yang menyentuh dua misi besar: kemanusiaan dan kepedulian lingkungan. Aksi yang menyuarakan bahwa menjadi merdeka juga berarti menjaga yang telah diwariskan—alam, persaudaraan, dan rasa saling peduli.
Tahun 2025 ini, Indonesia akan merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-80. Delapan dekade merdeka. Tapi di tengah gegap gempita perayaan, Novrizal justru menyadari: kemerdekaan hari ini tak lagi soal penjajah dan senjata, melainkan kelupaan. Kelupaan untuk menjaga, untuk saling menengok, untuk peduli pada bumi yang kita pijak.
Malam ke-9, tubuh lelahnya tiba di Kantor DPD LDII Kabupaten Bandung Barat. Di sana, ia disambut bukan sebagai tamu, tapi sebagai saudara. Disediakan tempat beristirahat, makan, dan lebih dari itu: doa dan pelukan hangat yang membuatnya merasa tak sendiri.
“Saya bersyukur sekali bisa singgah di sini,” ujar Novrizal. “Bukan hanya karena kenyamanan tempatnya, tapi karena sambutan hangat dari keluarga besar LDII membuat saya merasa tidak berjalan sendirian,” ungkapnya.
Dan akhirnya, langkah itu tiba di garis akhir: halaman Kantor Gubernur Jawa Barat. Di bawah langit yang sama yang mengiringinya sejak hari pertama, ia menunduk. Bukan karena lelah, tapi karena penuh syukur.
“Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan hingga saya bisa menyelesaikan perjalanan ini,” ucapnya dengan mata berkaca. “Saya berterima kasih kepada kedua orang tua saya yang tak henti mendoakan, kepada pengurus LDII se-Jawa Barat yang menyambut saya di setiap kota, serta kepada Pemerintah Jawa Barat atas apresiasinya,” lanjutnya.
Ketua DPW LDII Jawa Barat, Dicky Harun, turut mengungkapkan kebanggaannya terhadap misi ini. Sejak awal, LDII memberikan dukungan penuh, karena melihat ini sebagai bentuk nyata nasionalisme dari generasi muda.
“Kami dari DPW LDII Jawa Barat sangat bersyukur dan bangga atas perjuangan Kak Novrizal,” ujar Dicky. “Longmarch ini bukan sekadar berjalan kaki, tapi berjalan membawa pesan. Kami siapkan dukungan di tiap kabupaten dan kota yang ia lintasi, tempat istirahat, logistik, hingga dukungan moril,” ungkapnya.
Bagi Dicky, aksi Novrizal menjadi bukti bahwa Indonesia belum kehilangan pemuda yang peduli. “Semangat sosial dan kepedulian terhadap lingkungan yang ditunjukkan Kak Novrizal ini sangat penting untuk generasi muda. Kami berharap semangat ini bisa menular, menjadi bagian dari gelombang besar menuju Indonesia Emas 2045. Kita butuh lebih banyak pemuda yang bergerak dalam diam tapi berdampak seperti dia,” lanjutnya.
Perjalanan itu kini usai. Namun makna setiap langkahnya akan tetap hidup. Ia tak hanya menapaki jalanan, tapi juga membuka jalan bagi kesadaran baru. Bahwa cinta tanah air bisa dimulai dari langkah paling sunyi, yang dituntun oleh niat paling suci. Karena kemerdekaan bukan hanya warisan yang dibanggakan, tetapi amanah yang harus terus diperjuangkan, dijaga, dan ditanamkan kembali di setiap generasi.