Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Acap, bila mendengar kata leadership atau kepemimpinan, kebanyakan orang segera membayangkan sesuatu yang besar dan megah: memimpin perusahaan, mengatur ribuan karyawan, mengambil keputusan strategis yang mengubah arah organisasi, atau berdiri di panggung memberi pidato inspiratif. Kepemimpinan sering dilekatkan pada jabatan tinggi, karisma publik, dan pencapaian luar biasa. Namun, bila kita merenung lebih dalam, sejatinya kepemimpinan tidak hanya tumbuh di ruang rapat atau podium kehormatan, tetapi juga dalam ruang keluarga, dapur, halaman rumah, bahkan di pasar tradisional.
Sesungguhnya, kepemimpinan bermula dari hal-hal kecil—yang tampak remeh, tetapi sarat makna dan nilai kemanusiaan. Ketika seorang ayah meluangkan waktu mengantar istrinya ke pasar, di situ ada nilai presence dan penghargaan. Ketika ia menemani anak belajar meski lelah selepas bekerja, di situ ada keteladanan dan tanggung jawab. Ketika ia mengajak keluarganya bercanda di ruang makan, di situ tumbuh emotional connection dan kehangatan rumah. Inilah bentuk-bentuk kepemimpinan sehari-hari yang jarang dibahas dalam seminar, tetapi justru menjadi fondasi sejati dari kepemimpinan yang berkarakter.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ:”كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ رَاعٍ، وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا، وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ، وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.”قَالَ: “فَكُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.”
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rumah tangganya. Seorang pelayan adalah pemimpin atas harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” “Maka, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Al-Bukhori)
Dimulai dari Diri Sendiri
John C. Maxwell , pakar kepemimpinan dunia, dalam bukunya The 360° Leader, menegaskan bahwa “Kepemimpinan tidak bergantung pada posisi, tetapi pada pengaruh. ” Seseorang bisa menjadi pemimpin meski tidak memiliki jabatan formal, selama ia memberi pengaruh positif pada lingkungannya. Ketika seorang suami mencontohkan kesabaran, ketika seorang ibu menunjukkan ketulusan, ketika seorang anak menghormati orang tuanya, di situlah influence itu bekerja. Kepemimpinan semacam ini tidak menciptakan sorotan, tetapi menyalakan keteladanan.
Konosuke Matsushita, pendiri Panasonic, memiliki pandangan serupa. Ia berkata, “Pemimpin sejati bukan yang memerintah dari atas, tetapi yang melayani dari bawah.” Filosofi servant leadership inilah yang sering hilang dalam kepemimpinan modern—karena terlalu terpesona pada kekuasaan, bukan pengabdian. Kepemimpinan sejati, menurut Matsushita, tumbuh dari keinginan tulus untuk membahagiakan dan menguatkan orang lain, terutama yang paling dekat dengan kita. Maka, melayani keluarga dengan penuh cinta, sejatinya adalah latihan kepemimpinan paling luhur.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ad-Dailami)
Sementara Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengingatkan: “Aku bukanlah penguasa kalian, tetapi aku pelayan kalian yang dibebani amanah oleh Allah. ”
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:”إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ.”
Dari Aisyah, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai apabila salah seorang di antara kalian melakukan suatu pekerjaan, maka ia melakukannya dengan itqan (tepat, sungguh-sungguh, dan sebaik-baiknya). ” (HR Al-Baihaqi)
Dari Rumah, Kepemimpinan Itu Tumbuh
Stephen R. Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People mengingatkan bahwa karakter seseorang terbangun dari kesehariannya. Habit-habit kecil yang dilakukan di rumah adalah cerminan kepribadian seorang pemimpin di ruang publik. Bila seseorang terbiasa menghargai istrinya di rumah, ia akan lebih mudah menghargai rekan kerjanya di kantor. Bila seseorang sabar mendengar curhat anak, ia akan lebih empatik mendengar pendapat timnya. Dengan kata lain, rumah adalah “sekolah kepemimpinan” yang paling otentik.
Peter Drucker, sang bapak manajemen modern, pernah menulis: “The most important thing in communication is hearing what isn’t said.” Inti dari komunikasi sejati adalah kemampuan memahami makna di balik kata-kata yang tidak terucap. Di rumah, kemampuan mendengarkan inilah yang paling dibutuhkan. Seorang pemimpin sejati tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga memahami diamnya orang lain. Saat mendengar keluh kesah pasangan, kecemasan anak, atau kelelahan orang tua, seseorang sedang mempraktikkan empathic leadership — kepemimpinan yang menumbuhkan kepercayaan.
Maka, mengantar istri ke pasar bukanlah tindakan sepele. Itu adalah wujud kepemimpinan yang memelihara relasi dan menghormati keseharian. Menemani anak belajar bukan hanya tugas orang tua, melainkan bentuk komitmen terhadap masa depan yang sedang dibangun bersama. Mengajak keluarga bercanda di tengah kesibukan bukan sekadar hiburan, tetapi cara menjaga keseimbangan antara tanggung jawab dan kebahagiaan.
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي.”
Dari Aisyah, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR At-Tirmidzi)
Kepemimpinan dan Kesadaran Kemanusiaan
Kepemimpinan yang besar selalu berakar pada kemanusiaan yang dalam. Mahatma Gandhi pernah berkata, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” Jalan terbaik untuk mengenali siapa dirimu adalah dengan mengabdikan dirimu bagi sesama. Artinya, semakin tulus seseorang melayani, semakin tinggi kualitas kepemimpinannya. Kepemimpinan tidak menuntut ruang publik yang luas, tetapi membutuhkan hati yang lapang.
Begitu pula dengan prinsip kepemimpinan menurut Lao Tzu , filsuf Tao kuno: “Pemimpin terbaik adalah yang hampir tidak dikenal orang. Ketika pekerjaannya selesai, orang-orang akan berkata: kami melakukannya sendiri.”
Kepemimpinan yang tidak haus pengakuan justru melahirkan dampak yang lebih kuat. Ia tidak memerintah, tetapi menuntun. Tidak mendominasi, tetapi menginspirasi. Merangkul, tidak memukul. Dan ruang terbaik untuk menumbuhkan gaya kepemimpinan seperti ini adalah di rumah—tempat kita berlatih mencintai tanpa pamrih.
Mengembalikan Jiwa Kepemimpinan ke Kehidupan Sehari-Hari
Krisis kepemimpinan di berbagai bidang dewasa ini sesungguhnya bukan semata krisis strategi atau visi, tetapi krisis kedekatan. Kita terlalu sibuk mengejar proyek besar, hingga lupa bahwa kebesaran sesungguhnya tumbuh dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan cinta. Leading with humanity berarti memimpin dengan hati, bukan dengan otoritas semata.
Seorang pemimpin organisasi yang mampu mengantar anaknya sekolah dengan bahagia akan memimpin perusahaannya dengan hati yang lebih hangat. Seorang manajer yang sabar mendengar istrinya bercerita akan lebih empatik saat mendengar keluhan bawahannya. Seorang pemimpin yang bisa bercanda dengan keluarganya akan lebih mudah menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan manusiawi.
Kepemimpinan bukanlah soal ukuran proyek, tetapi tentang kedalaman hati dalam melayani kehidupan. Dan justru dari tindakan-tindakan kecil itulah muncul integritas, empati, dan kesabaran—tiga kualitas yang menjadi roh kepemimpinan sejati.
Akhirnya, kita belajar bahwa kepemimpinan tidak harus lahir dari ruang rapat, panggung motivasi, atau medan politik. Kepemimpinan bisa tumbuh dari ruang makan sederhana, dari langkah ringan menuju pasar, dari tawa kecil bersama keluarga. Sebagaimana dikatakan oleh John C. Maxwell dalam “The 21 Irrefutable Laws of Leadership” menyatakan; “Leadership is not about titles, positions, or flowcharts. It is about one life influencing another.” Kepemimpinan bukan tentang jabatan, posisi, atau bagan organisasi. Kepemimpinan adalah tentang satu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan yang lain.
Dan pengaruh itu sering kali bermula dari hal-hal remeh—yang hanya bisa dilakukan oleh hati yang hadir dan mencintai. Maka, bila suatu hari Anda merasa tak sedang “memimpin” apa pun, ingatlah: saat Anda menjaga keluarga, menghargai orang lain, dan menyalakan kebaikan kecil setiap hari—Anda sedang mempraktikkan kepemimpinan yang paling luhur.
Kepemimpinan yang sunyi, yang remeh, yang kecil, tetapi menghidupkan dan penting.