Berbicara soal masa depan pangan Indonesia, beras bukan satu-satunya jawaban. Sorgum, tanaman serealia dengan nilai gizi tinggi dan daya adaptasi yang kuat, bisa menjadi alternatif komoditas strategis untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Siang itu, setelah sesi pertama Sekolah Virtual Kebangsaan II (SVK II) rampung, Grand Ballroom Minhaajurrosyidin di Jakarta pada Sabtu (23/8) berubah wajah. Lampu-lampu kristal yang tergantung di langit-langit memantulkan cahaya lembut, menimpa meja-meja bundar yang telah tertata rapi. Kursi-kursi terisi oleh peserta yang masih hangat membicarakan materi yang baru saja disampaikan. Obrolan ringan berseliweran, menyambung antara tawa, salam, dan pertanyaan-pertanyaan kecil yang mengalir begitu saja.
Dari balik ruang makan, aroma menggoda perlahan menyeruak. Dapur yang bersih, dengan panci-panci besar yang masih mengepulkan uap, menjadi saksi persiapan hidangan yang tak biasa. Bukan nasi putih yang mengepul seperti biasanya, melainkan butiran sorgum yang sederhana—kecil, bulat, dengan warna gading kecokelatan. Para santri yang bertugas beramal sholeh di dapur membawa piring-piring itu dengan tenang, menyajikannya ke hadapan tamu yang sudah menanti.
Suasana pun bergeser. Para peserta saling menatap piring mereka, beberapa mengangkat alis dengan heran, sebagian lain tersenyum penasaran. Biji-biji sorgum yang mengisi piring tampak seperti undangan untuk mencicipi hal baru. Ketika sendok pertama masuk ke mulut, teksturnya yang kenyal terasa berbeda—tak sepadat nasi, tak sepahit jagung tua. Ada kejujuran rasa yang polos, yang seakan memberi ruang bagi lauk untuk tampil lebih dominan.
Di meja bundar itu, sorgum menemukan kawan sejatinya. Disandingkan dengan daging kuah kuning yang harum rempah, tahu tempe yang gurih sederhana, dan sambal pedas yang membakar lidah, sorgum tak lagi tampak asing. Ia berubah menjadi teman yang ramah, menyatu dengan rasa lauk, membangkitkan selera, dan menghadirkan kehangatan yang sulit ditolak. Percakapan pun semakin hidup, seolah setiap suapan melahirkan cerita baru.
Bagi banyak orang di ruangan itu, butiran sorgum bukan sekadar makanan. Ia adalah pengalaman, sebuah perjalanan rasa yang membawa kesadaran bahwa di luar nasi, masih ada pangan lain yang tak kalah mengenyangkan, sehat, dan bernilai. Meja bundar yang semula dipenuhi obrolan ringan kini berubah menjadi lingkaran kecil pertemuan dengan masa depan, masa depan di mana ketahanan pangan tak lagi bertumpu pada satu komoditas saja, melainkan pada keragaman yang sederhana namun penuh harapan.
Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, yang turut menyantap menu siang itu, memberi pandangan yang jernih. Baginya, butiran mungil sorgum seolah membawa pesan yang lebih besar dari bentuknya. “Dari sisi gizi, sorgum tidak kalah dari beras. Bahkan lebih berserat dan indeks glikemiknya lebih rendah, sehingga baik untuk penderita diabetes,” ujarnya. Dalam setiap bulir kecil itu, ia melihat bukti bahwa pangan bukan sekadar urusan kenyang atau kebiasaan turun-temurun, melainkan pilihan sadar untuk hidup lebih sehat.
Ia lalu melukiskan kemudahan budidaya sorgum dengan nada optimistis. Sekali tanam bisa berbuah hingga tiga kali dalam setahun, seakan bumi tak pernah lelah memberi. Ia tidak menuntut air sebanyak padi, tidak pula perawatan yang rumit. “Bayangkan, bijinya bisa dimakan, batangnya bisa jadi pakan ternak, bahkan bahan biodiesel. Semuanya laku, secara ekonomi ini bagus,” katanya. Bagi KH Chriswanto, sorgum ibarat pohon kehidupan: setiap bagian tubuhnya bermanfaat, setiap ruasnya mendatangkan nilai.
Langkah nyata pun telah mereka ukir. LDII mengembangkan budidaya sorgum di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, serta di Blora, Jawa Tengah. Di Blora bahkan dilakukan panen raya bibit sorgum bersertifikat, sebuah tonggak yang diharapkan menjadi trademark produk LDII. “Bibit unggulnya dikelola masyarakat sendiri,” katanya. Di balik kata-kata itu, tersirat harapan bahwa sorgum kelak tak hanya sekadar pengisi piring makan, tapi juga penopang ekonomi baru bagi petani—sebuah emas cokelat yang tumbuh dari tanah.
Kisah nyata datang dari Anton Kuswoyo, seorang dosen yang juga peternak yang menanam sorgum untuk pangan sekaligus pakan. Batangnya yang hijau segar langsung dimanfaatkan untuk ternaknya. “Ini luar biasa,” kata Chriswanto. Pengalaman Anton menjadi bukti sederhana namun kuat bahwa sekali tanam, manfaat sorgum menjelma berlipat-lipat: mengisi perut manusia, mengenyangkan hewan, dan pada akhirnya, menyejahterakan keluarga.
Senada dengan itu, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rubiyo, memandang sorgum sebagai jawaban strategis untuk ketahanan pangan Indonesia. Selama ini, ketahanan pangan kerap disempitkan hanya pada beras. Padahal, menurutnya, sorgum adalah harta terpendam yang menunggu digali. “Sorgum punya adaptabilitas yang sangat luas. Ia bisa tumbuh di lahan marginal, di tanah yang tidak subur sekalipun, asal dipelihara dengan baik,” ujarnya. Bagi Rubiyo, sorgum adalah keajaiban kecil: tanaman yang mampu mengubah lahan tidur menjadi ladang kehidupan.
Selain itu, efisiensi sorgum mengagumkan. Sekali tanam, bisa panen hingga tiga kali, seakan bumi memberi hadiah berulang. Dari segi gizi, ia tak sekadar pengganti melainkan pesaing sejati bagi padi: karbohidrat melimpah, protein 10,7 persen, vitamin dan mineral yang lengkap. “Ia benar-benar layak menjadi bagian dari program ketahanan pangan,” kata Rubiyo, suaranya mengandung keyakinan.
Namun, ia juga menyadari rintangan yang lebih halus: persepsi. “Di beberapa daerah, makan selain beras masih dianggap identik dengan kemiskinan,” ujarnya. Bagi Rubiyo, ini bukan sekadar stigma, melainkan tembok besar yang harus diruntuhkan. “Mindset ini harus kita kikis. Nilai gizi sorgum sama sekali tidak kalah. Justru ia menawarkan kelebihan.” Baginya, tugas terbesar bukan hanya menanam sorgum di tanah, tetapi juga menanam kesadaran baru di benak masyarakat.
Di penghujung makan siang itu, obrolan tentang sorgum tak berhenti di meja. Ia merambat menjadi percakapan tentang masa depan: tentang petani yang butuh kepastian pasar, tentang bibit unggul yang harus terus tersedia, dan tentang peluang besar yang menanti jika Indonesia berani membuka diri pada diversifikasi pangan.
Butir-butir mungil yang siang itu tersaji di piring tidak lagi dilihat sebagai pengganti nasi semata. Ia menjadi simbol harapan. Harapan bahwa Indonesia bisa mandiri, tak selalu bergantung pada impor gandum, tak rapuh ketika beras sulit dijangkau. Harapan bahwa di balik kesederhanaan, ada kekuatan besar yang menunggu untuk diberi kesempatan.
Sorgum, dengan segala kerendahan hati bentuknya, menuturkan pesan itu dengan jelas. Bahwa ketahanan pangan bukan sekadar tentang menanam dan memanen, tapi tentang keberanian untuk memberi ruang bagi keragaman. Dan di ruang makan yang hangat siang itu, di antara tawa dan sambal pedas yang masih menempel di lidah, kesadaran itu tumbuh—diam-diam, tapi pasti.